Hari Ini Dewas KPK Bakal Putuskan Nasib Perkara Etik Firli

Inionline.id – Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) akan menggelar pemeriksaan pendahuluan atas dugaan pelanggaran kode etik Komisioner KPK Firli Bahuri pada Jumat (8/12).

“Rencananya Jumat pagi ini Dewas melakukan pemeriksaan pendahuluan atas dugaan pelanggaran etik pak FB,” ujar Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris saat dihubungi, Jumat (8/12).

“Dalam pemeriksaan pendahuluan oleh Dewas secara tertutup tersebut akan diputuskan apakah kasus FB lanjut ke sidang etik atau tidak,” jelas Syamsuddin.

Pemeriksaan pendahuluan ini digelar setelah proses klarifikasi telah rampung dilakukan.

Sebelumnya,Firli hanya bungkam setelah diklarifikasi Dewas KPK selama sekitar dua jam atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku pada Selasa (5/12) lalu.

Firli selesai menjalani klarifikasi pada pukul 11.45 WIB.

Dia tak merespons pelbagai pertanyaan awak media yang menunggu di lobi Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi atau Kantor Dewas KPK.

“Terima kasih ya,” ujar Firli singkat sembari berjalan menuju mobil jemputan.

Firli juga memilih diam ketika dikonfirmasi kabar penggeledahan apartemen milik istrinya di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, oleh penyidik Polda Metro Jaya.

Firli sudah dua kalimenjalani klarifikasi di Dewas KPK, yakni Senin (20/11) dan Selasa (5/12).

Pada proses klarifikasi Senin (20/11), Firli enggan membuka materi yang ditanyakan oleh Dewas KPK. Dia mengaku sudah menyampaikan semua hal kepada lembaga pengawas tersebut.

“Saya sudah berikan semua apa yang dimintakan oleh Dewan Pengawas. Tentu ini adalah sesuai dengan surat undangan klarifikasi oleh Dewas dan sudah saya sampaikan semuanya utuh dari mulai a sampai z,” ujar Firli di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (20/11).

Setidaknya ada dua laporan yang masuk ke Dewas KPK. Pertama, dugaan pelanggaran kode etik Firli atas pertemuannya dengan pihak berperkara yaitu mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Lalu, dugaan gaya hidup mewah atas sewa rumah Kertanegara Rp650 juta per tahun yang tidak tercantum di dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).