Imbas Pemanasan Global, El Nino dan La Nina Bertingkah Makin ‘Gila’

Iptek1057 views

Inionline.id – Krisis iklim yang sedang memanaskan Bumi disebut memicu tingkah yang lebih ‘gila’ dari fenomena El Nino dan La Nina. Bentuknya, perubahan frekuensi kemunculan dan kekuatannya.

“Dampak dari perubahan iklim sendiri ada beberapa. Pertama, durasi daripada peristiwa cuaca ekstrem itu lebih sering, contoh El Nino dan La Nina,” ungkap Guswanto dalam Forum Merdeka Barat 9, Senin (1/4).

La Nina merupakan anomali iklim yang berpusat di Samudera Pasifik yang bisa menambah curah hujan di Indonesia. Hasilnya, banjir, hujan, longsor lebih banyak.

Sebaliknya, El Nino, anomali yang berpusat di wilayah yang sama, memicu penurunan curah hujan dan kekeringan di RI.

Ia mengingatkan krisis iklim ini membuat periode La Nina dan El Nino, yang pada dasarnya adalah anomali iklim, makin cepat dan intensitasnya makin kuat.

“Periodenya semakin rapat. Kedua, intensitasnya atau dampaknya lebih besar di mana dulu biasanya banjir hanya 3 hari hilang, sekarang biasanya sampai seminggu bahkan 2 minggu,” tuturnya.

Sebelum pemanasan global merajalela, Guswanto mengungkap periode kemunculannya antara 5 hingga 7 tahun sekali. Angkanya kemudian meningkat menjadi 3–5 tahun.

“Dan sekarang hanya 2 sampai 1 tahun, bahkan,” lanjut dia.

Guswanto mencontohkannya dengan peristiwa La Nina yang terjadi terus menerus pada 2020, 2021, 2022, yang disebut sebagai tripple Deep La Nina. Setahun setelah itu, muncul El Nino yang kini kondisinya masih moderat.

El Nino lebih sering tapi tak sekuat dulu

Peneliti klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut pemanasan global membuat El Nino lebih sering terjadi dibanding La Nina.

“Pemanasan global membuat El Nino lebih frequent, lebih sering dibanding La Nina,” ujarnya, ditemui di kantor pusat BRIN, akhir Januari lalu.

Namun demikian, efek krisis iklim ini memberi dampak berbeda terhadap El Nino dan La Nina. Erma menyebut pemanasan global membuat intensitas dan durasi El Nino tak sekuat dan sepanjang dahulu.

“Sering, tapi intensitasnya, kekuatannya tidak selalu kuat banget, enggak Super El Nino di atas 2 [derajat Celsius] seperti 1982, 1997, 2015,” urai dia.

Di bawah skenario pemanasan global, El Nino rata-rata terjadi sekitar 15 tahun sekali. Kini, jaraknya makin dekat, 7 hingga 8 tahun sekali.

“Dua kali frekuensinya lebih cepat untuk kategori strong, di atas 1,5 [derajat C], padahal sebelumnya 15 tahun [sekali]. Tapi, enggak akan intenstiasnya di atas 2 [derajat C], super El Nino,” ucap Erma.

“Durasi El Nino walau lebih frequent, enggak lama, [enggak] multiyears.”

Hal ini dicontohkannya dalam El Nino pada 2023 yang tak memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semasif periode El Nino sebelumnya.

Sementara, Erma menyebut pemanasan global membuat La Nina lebih kuat meski kemunculannya tak sebanyak El Nino.

“La Nina sebaliknya. Global warming membuatnya enggak sesering El Nino tapi lebih strong, ucap dia.”

Kenapa fenomena ini terjadi? Erma menjawab bahwa ini adalah bagian dari mekanisme Bumi menyeimbangkan suhunya.

“Laut cs menyeimbangkan biar enggak seekstrem [fenomena] 2015,” ujar dia.

Rekor-rekor panas

Guswanto mengatakan tahun 2023 memecahkan banyak rekor suhu imbas pemanasan global.

Rekor sebelumnya adalah tahun 2016, yang sempat dinyatakan sebagai tahun terpanas dengan peningkatan suhu mencapai 1,2 derajat dibanding level pra-industri.

“Dalam laporan terbaru tahun 2024 pemanasan global tertinggi itu sekitar 1,45 derajat di tahun 2023,” imbuh dia.

Kenaikan suhu yang tampak sepele itu nyatanya berdampak signifikan buat Bumi.

“Kalau melihat parameter peningkatan suhu dampaknya cukup banyak, seperti tidak ada lagi salju abadi di Puncak Jaya (Papua), sekarang kalau dilihat sudah berkurang dan hanya tinggal beberapa.”

“Dalam 10 tahun ke depan kemungkinan salju juga bisa hilang karena pemanasan global yang terjadi secara perlahan-alahan apabila tidak dilakukan mitigasi ataupun adaptasi terhadap perubahan iklim,” urai Guswanto.

Prediksi La Nina

Erma pun memprediksi La Nina segera muncul menyusul pudarnya El Nino tahun ini.

“Sesuai teori, El Nino kuat akan diikuti La Nina kuat. Tapi tidak terjadi sebaliknya,” ungkap dia.

Pada Ikhtisar Cuaca Harian Minggu (31/3), Indeks NINO 3.4 masih bernilai +1,05, masih Moderat, belum turun jadi Netral, dan tidak berefek terhadap peningkatan curah hujan di Indonesia.

Badan Kemaritiman dan Atmosfer AS (NOAA), dalam update-nya per 1 April, mengungkap kondisi El Nino saat ini “teramati.”

Hal itu tampak dari laporan di beberapa area pengukuran El Nino. Pusatnya adalah Nino 3.4. Berikut rinciannya:

+ Nino 4: 0,8º C
+ Nino 3.4: 1,0º C
+ Nino 3: 0,9º C
+ Nino 1+2: -0,4º C

Walau begitu, model-model iklim dunia menunjukkan El Nino mulai merealisasikan rencana ‘rehat’ mulai April.

NOAA mengungkap transisi dari El Nino ke ENSO netral kemungkinan terjadi pada bulan April-Juni 2024 (peluangnya 83 persen), dengan kemungkinan terjadinya La Nima yang meningkat pada Juni-Agustus 2024 (62 persen).

International Research Institute for climate prediction (IRI) juga menyatakan “mayoritas model menunjukkan El Nino akan bertahan hingga Maret-Mei 2024 dan kemudian bertransisi ke ENSO-netral pada bulan April-Juni.”

Setelah periode singkat kondisi ENSO netral, sebagian besar model iklim menunjukkan transisi ke La Nina, yang biasanya memicu banyak hujan, sekitar Juli–September.

Efek buat mudik

Eko Prasetyo, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, mengungkap El Nino dan La Nina ini berdampak pada potensi hujan di jalur mudik Jawa Tengah dan Jawa Barat.

“Ada potensi hujan lebat di beberapa wilayah yang harus kita cermati atau waspadai, di antaranya di sebagian ruas jalur mudik di Pulau Jawa. Terutama di ruas atau daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini ada potensi hujan lebat menjelang lebaran atau pas mudik,” kata Eko dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (2/4).

Selain itu, kondisi serupa terjadi di beberapa wilayah Sumatera dan juga sebagian besar Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kemudian, sebagian besar Sulawesi, hingga sebagian besar Papua.

Eko menyinggung fase pancaroba yang terjadi di Indonesia saat ini yang membuat cuaca akan sangat cepat berubah.

“Jadi memang ini adalah bagian dari beberapa parameter global yang semakin cepat berubah, terutama sebagai pemicu adalah adanya El Nino dan La Nina, ini yang menjadi catatan kita ketika ini indeksnya menengah,” jelas dia.

“Ini tentunya akan memengaruhi semua ini juga bagian dari sebab terjadinya atau akibat dari adanya perubahan iklim yang memang kita harus siapkan adaptasi dan mitigasinya,” tandas dia.