Soal Pembekuan Parpol, MK Tidak Terima Gugatan Mahasiswa

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima gugatan terkait aturan pembekuan partai politik dalam Pasal 48 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Gugatan dengan nomor perkara 15/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Teja Maulana Hakim.

Ia ingin parpol dibekukan jika ada anggotanya yang melakukan tindak pidana korupsi minimal 10 kali, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam tugasnya sebagai penyelenggara negara.

Teja mempersoalkan Pasal 48 ayat 2 UU Parpol yang menyatakan, ‘Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun’.

Kemudian, Pasal 48 ayat 3 UU Parpol menyatakan, ‘Partai politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi’.

“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/3).

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan uraian pemohon tak menjelaskan ihwal adanya anggapan kerugian hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Uraian pemohon, kata dia, justru mengenai proses seleksi jabatan publik oleh parpol yang tidak efektif, sehingga muncul anggota partai politik yang merupakan penyelenggara negara tersandung kasus tindak pidana korupsi.

Enny mengatakan pihaknya tidak menemukan adanya keterkaitan antara penjelasan pemohon soal proses seleksi jabatan publik oleh parpol yang tidak efektif, sehingga muncul anggota parpol yang merupakan penyelenggara negara tersandung kasus tindak pidana korupsi dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya.

Namun, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi, yakni Suhartoyo, Saldi Isra dan Arsul Sani.

Ketiga hakim berpendapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Karena itu, Mahkamah seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan.