Soal Potensi Perang dengan China, Menlu Taiwan Buka Suara

Iptek557 views

Inionline.id – Mengenai potensi Taiwan berperang dengan China, Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu buka-bukaan. Konflik antara keduanya menjadi salah satu isu geopolitik di Asia Timur yang menjadi perhatian dunia.

Wu tak menampik kemungkinan perang itu meledak. Namun, pihaknya yakin perang bisa dihindari oleh kedua belah pihak. Keyakinan itu, sambungnya, juga diperkuat oleh informasi dari pejabat militer dan intelijen utama AS.

“Saat ini, menurut saya yang terpenting adalah kami tidak melihat adanya indikasi Tiongkok siap untuk melancarkan perang melawan Taiwan kapan saja. Kami juga berpikir bahwa perang dapat dihindari,” ujar Wu dalam wawancara eksklusif bersama CNN Indonesia TV dalam program Asia Forward, Rabu (10/1).

Menurut Wu, jika Cina meluncurkan perang melawan Taiwan dampaknya akan besar. Di sektor transportasi dan logistik, misalnya, 50 persen kargo dunia melewati Selat Taiwan.

Apabila perang pecah, sektor tersebut akan terkena imbas negatif. Selain itu, Taiwan juga memproduksi sekitar 90 persen dari cip semikonduktor tercanggih di dunia yang diperlukan industri modern.

“Apabila rantai pasokan cip komputer terganggu, Anda dapat membayangkan dampaknya terhadap seluruh dunia, terutama negara-negara dengan ekonomi paling maju. (Dampaknya) akan sangat serius. Ini mungkin akan menjadi lebih serius daripada perang di Ukraina,” ujarnya.

Tak ayal, pihaknya bersama sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jepang dan Australia, sepakat perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan sangat diperlukan untuk keamanan dan kemakmuran global.

Kendati demikian, sambung Wu, Taiwan tetap mempersiapkan diri jika perang militer dengan China meledak. Salah satunya, dengan merumuskan strategi perang asimetris bersama AS.

Gedung Putih, kata Wu, memberikan banyak bantuan kepada Taiwan yang memungkinkan Negeri Formosa meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk menghadapi kemungkinan agresi militer oleh China.

“Kami telah mendiskusikan dengan teman baik kami, Amerika Serikat, mengenai strategi asimetris yang diperlukan. Transformasi semacam ini telah terjadi. Bukan hanya senjata yang kami peroleh dari Amerika Serikat atau strategi asimetris. Kami juga melatih tentara kami untuk beradaptasi dengan perang asimetris modern,” ujarnya.

Selain itu, Taiwan juga memperpanjang masa wajib militer dari empat bulan menjadi satu tahun mulai 1 Januari 2023. Tak hanya itu, Taiwan juga melakukan lebih banyak investasi dalam pertahanan daripada sebelumnya.

“Perspektif kami adalah bahwa tidak peduli kapan pun China siap untuk melancarkan perang melawan Taiwan, Taiwan harus siap untuk mempertahankan diri. Kami ingin mempertahankan diri dan kami bertekad untuk mempertahankan diri,” tegasnya.

Wu menilai tekanan terhadap Taiwan melalui aktivitas militer di sekitar wilayah dan paksaan ekonomi sejatinya merupakan ekspansi dari sikap otoritarianisme China.

“Taiwan kebetulan berada di garis depan otoritarianisme China ketika mereka mencoba untuk melakukan ekspansi ke luar. Oleh karena itu kami menerima banyak tekanan dari RRT dan tekanan itu termasuk dari sisi militer,” ujarnya.

Wu mengungkapkan sikap otoriter ini tidak hanya dilakukan China terhadap Taiwan, tetapi juga terhadap negara lain.

“Sebelah selatan kami, sebuah negara Asia Tenggara, Filipina, juga merasakan tekanan dari aktivitas maritim China yang ditujukan untuk mengintimidasi Filipina. Jadi jika Anda melihat semua ini, Taiwan hanyalah salah satu wilayah ekspansionisme otoriter Tiongkok,” ujarnya.

Lebih lanjut, Wu mengklaim mayoritas mutlak masyarakat Taiwan menolak ide unifikasi atau model satu negara dua sistem. Karenanya, menurut Wu, pendekatan terbaik untuk dialog damai adalah kedua belah pihak mengakui status quo.

“Taiwan mengakui status quo dan kami berharap RRC juga dapat mengakui status quo sehingga kedua belah pihak dapat melakukan dialog damai satu sama lain,” tegasnya.