Berikut ini Fakta-Fakta Nyamuk Wolbachia Penumpas DBD yang Disebar di 5 Kota

Berita857 views

Inionline.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebar nyamuk Wolbachia untuk menekan penyakit deman berdarah dengue (DBD) di lima kota Indonesia.

Lima wilayah kota yang disebar nyamuk Wolbachia itu adalah Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT).

Kemenkes menyatakan penyebaran nyamuk Wolbachia ke lima kota itu diatur lewat Surat Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan demam berdarah dengue (DBD).

Berikut fakta-fakta penyebaran nyamuk Wolbachia di Indonesia berdasarkan pernyataan dari Kemenkes dan berbagai sumber:

1. Bukan rekayasa genetik

Kemenkes mengatakan nyamuk Wolbachia didapatkan secara alami tanpa ada rekayasa genetik. Wolbachia merupakan bakteri alamiah pada serangga yang ramah lingkungan karena tidak mengganggu ekosistem atau siklus hidup mikroorganisme lain.

Karena itu, Kemenkes menegaskan manusia tidak dijadikan kelinci percobaan dalam program tersebut.

2. Bikin nyamuk aedes aegypti mandul

Nyamuk Wolbachia disebut mampu membuat nyamuk aedes aegypti menjadi mandul dan tidak menularkan penyakit DBD. Dengan demikian, orang yang terjangkit DBD nantinya akan jauh berkurang.

3. Terbukti turunkan DBD

Kemenkes mengungkap nyamuk Wolbachia untuk menurunkan penyebaran DBD sudah terbukti di sembilan negara. Negara yang dimaksud yakni Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Meksico, Kiribati, Kaledonia Baru, dan Sri Lanka.

Oleh sebab itu, Kemenkes menerapkan teknologi tersebut di Indonesia.

4. Lumpuhkan virus dengue

Wolbachia diklaim dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia.

“Jika aedes aegypti jantan berwolbachia kawin dengan aedes aegypti betina maka virus dengue pada nyamuk betina akan terblok. Selain itu, jika yang berwolbachia itu nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan yang tidak berwolbachia maka seluruh telurnya akan mengandung wolbachia,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Siti Nadia Tarmizi.

5.Diteliti sejak 2011

Efektivitas Wolbachia telah diteliti sejak 2011 yang dilakukan WMP di Yogyakarta dengan dukungan filantropi yayasan Tahija.

Penelitian dilakukan melalui fase persiapan dan pelepasan aedes aegypti berwolbachia dalam skala terbatas (2011-2015).

6. Sosialisasi di kota penyebaran nyamuk Wolbachia

Salah satu kota yang menjadi proyek pilot penyebaran nyamuk Wolbachia untuk menekan DBD adalah Semarang.

Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan pihaknya telah beberapa kali melakukan sosialisasi terkait dengan Wolbachia, dengan wilayah utama yang mendapatkan sosialisasi dari Dinkes Semarang adalah zona yang banyak kasus DBD.

“Masyarakat jangan khawatir akan penyebaran nyamuk Wolbachia. Kami lihat potensi wilayah penyebaran penyakit demam berdarah tinggi saat musim hujan, yaitu di Banyumanik dan Tembalang,” kata dia yang karib disapa Ita di Semarang,  Senin (20/11) seperti dikutip dari Antara.

Ia juga meminta masyarakat tetap melaksanakan pemeriksaan jentik nyamuk (PJN) dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di lingkungan rumah secara rutin, yakni dua kali dalam sepekan.

Di Kota Semarang, strategi nyamuk Wolbachia dengan meluncurkan program Wolbachia Ing Kota (Wingko) Semarang pada akhir Mei lalu di Kecamatan Tembalang yang memiliki kontur padat penduduk, banyak pepohonan, dan genangan air.

Menurutnya, implementasi Wingko Semarang baru terlihat minimal enam bulan sejak disebarkan karena membutuhkan waktu nyamuk untuk kawin, memasukkan bakteri Wolbachia, dan berkembang biak.

7. Peneliti buka suara

Peneliti riset nyamuk ber-Wolbachia dari Universitas Gadjah Mada Dr Riris Andono Ahmad mengatakan tak ada yang berubah dari nyamuk dengan bakteri Wolbachia dengan tanpa bakteri sehingga dampak gigitannya sama saja.

“Tidak ada yang berubah dari nyamuknya. Nyamuknya tidak menjadi nyamuk bionik, nyamuk transgenik. Yang terjadi adalah semacam blocking mekanik sehingga memang pada akhirnya dampak dari gigitan nyamuk ya sama saja,” jelas dia dalam diskusi bertema ‘Mengenal Wolbachia dan Fungsinya untuk Mencegah Demam Berdarah’, Senin, dikutip dari Antara.

Menurut Riris yang biasa disapa Doni itu, walau efek gatal akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia masih sama dengan nyamuk Aedes aegypti umumnya, namun dia tak menularkan lagi virus dengue. Dia juga membantah tudingan bakteri dalam tubuh nyamuk berpindah ke serangga lain, hewan, atau manusia. Menurut dia, bakteri Wolbachia hanya bisa tinggal di dalam sel tubuh serangga sehingga begitu keluar dari sel tubuhnya, maka bakteri tersebut akan mati.

“Misalnya ludah, ludah bukan sel jadi dia (bakteri) tidak akan bisa ada di ludah nyamuk. Ada mungkin di sel kelenjar ludahnya tetapi bakteri tidak bisa keluar dari sel sehingga ketika nyamuk menggigit manusia dia tidak bisa ditularkan ke manusia atau tempat lain,” jelas Doni yang mengatakan penularan bakteri Wolbachia melalui perkawinan nyamuk.

Pada diskusi yang sama, peneliti dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Prof. DR. Adi Utarini, M.Sc, MPH, PhD, mengatakan tidak ada kaitan antara radang otak Japanese Encephalitis dengan teknologi Wolbachia.

“Ternyata Japanese Encephalitis (JE) ini nyamuknya berbeda (Culex) dan penyakitnya juga berbeda. Tidak ada kaitannya dengan teknologi Wolbachia,” kata Utarini yang meneliti bakteri Wolbachia dan demam berdarah itu

Japanese Encephalitis (JE) merupakan salah satu penyebab utama radang otak akibat infeksi virus ensefalitis. Beberapa waktu lalu, JE dan Wolbachia menjadi perbincangan warganet di media sosial karena ada pendapat yang mengaitkan nyamuk ber-Wolbachia dapat menyebabkan JE.

Adi Utarini yang akrab disapa Uut selain membantah teknologi Wolbachia menyebabkan JE juga menuturkan teknologi itu tidak terkait dengan kejadian filariasis atau penyakit kaki gajah.

“Wolbachia yang ada pada cacing yang menyebabkan filariasis itu berbeda jenisnya dengan Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Jadi Wolbachia ini bukan hanya satu jenis, tetapi ada ribuan jenis,” tutur dia.

Senada dengan Uut, dr. Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD dari Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi, Fakultas Kedokteran, kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada menuturkan setiap penyakit berbasis vektor atau penular dari nyamuk hanya ditularkan dari vektornya.

“Aedes Aegypti hanya bisa menularkan empat penyakit yakni dengue, zika, chikungunya dan yellow fever (demam kuning). Tetapi, kalau kemudian penyakit lain itu disebarkan oleh vektor nyamuk yang lain yaitu tinggi rendahnya kejadian penyakit tersebut tidak akan dipengaruhi vektor yang bukan perantaranya,” kata Riris menjelaskan.

Setali tiga uang dengan Uut, dia mengatakan JE dipengaruhi nyamuk Culex, bukan Aedes Aegyepti yang menjadi vektor empat penyakit tadi.