Sidang Perdana Uji UU Kesehatan yang Digugat IDI Digelar MK

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (12/10).

Para pemohon uji formil ini terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI).

Para pemohon memberikan kuasa kepada para advokat dan konsultan hukum pada Law Office Joni & Tanamas yang bergabung dalam Tim Kuasa Hukum Sekretariat Bersama Organisasi Profesi Kesehatan: IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI.

Kuasa hukum pemohon, Muhammad Joni, mengatakan pemohon adalah tenaga medis yang terdampak langsung prosedur formil pembentukan UU Kesehatan.

Joni menyebut hal itu karena berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti norma baru termasuk mengenai organisasi profesi, konsil, kolegium, yang merupakan norma kelembagaan dan sekaligus pasal-pasal “jantung” yang tidak memastikan adanya wadah tunggal organisasi profesi kedokteran dan kesehatan.

“Dalam pokok permohonan ini, mekanisme proses dan instrumen yang diberikan dan dilakukan, baik oleh pemerintah dan DPR tidak memenuhi syarat meaningful participation,” ujar Joni dalam persidangan.

Karena itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta mahkamah menyatakan UU Kesehatan, yang disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah duduk sebagai majelis hakim panel dalam persidangan kali ini.

Daniel memberikan nasehat kepada para pemohon terkait penulisan tanggal pada petitumnya. Ia mengatakan tanggal pengesahan dan pengundangan tidak perlu lagi dituliskan pada petitum. Daniel juga meminta pemohon menambahkan keterangan tambahan lembaran negara pada petitumnya.

“Petitum angka dua menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan yang disahkan tidak perlu lagi. Jadi langsung saja ‘Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan lembaran negara tahun 2023 nomor sekian, dan tambahan lembaran negara, itu dicantumkan juga nanti karena dia satu kesatuan. sebab kalau tidak dicantumkan nanti apakah lembaran negara saja yang dibatalkan atau tambahan lembaran negara juga ya. Karena biasanya itu satu kesatuan,” kata Daniel.

Lalu, Guntur menyoroti prinsip meaningful participation yang dibawa oleh pemohon dalam pengujian formil ini.

Ia meminta pemohon bersama kuasa hukumnya lebih merinci prinsip tersebut.

“Saya melihat bahwa pemohon ini mencermati terkait dengan tidak sesuai prosedur pembentukan undang-undang dengan prinsip meaningful participation. Di sini sudah dijelaskan meaningful participation menurut Putusan Mahkamah Konstitusi. Karena meaningful participation ini kan ada tiga variannya, right to heard, right to consider, right to be explain. Nah apa nih di sini nih yang menurut pemohon ini yang terlanggar di sini? Apakah dalam kaitannya right to heard-nya atau right to consider-nya atau right to be explain-nya atau tiga tiga, silahkan kalau itu tiga-tiga. Tapi di sini perlu diberikan data-data ya, fakta. Karena kalau tidak, jangan sampai hanya sifatnya common sense saja,” jelas Guntur.

Kemudian, Suhartoyo mengatakan mahkamah memberikan tenggang waktu untuk perbaikan permohonan hingga Rabu (25/10) pukul 09.00 WIB. Suhartoyo menyebut pemohon mesti melampirkan berkas permohonan baik softcopy maupun hardcopy kepada bagian kepaniteraan MK.