Ini Masalahnya Indonesia Masih Hadapi Backlog Rumah

Inionline.id – Industri properti di Indonesia masih menemui beberapa tantangan mulai dari kualitas properti, pembiayaan hingga yang paling sering terjadi adalah kurang pasok alias backlog perumahan.
Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu Kadin Budiarsa Sastrawinata mengatakan, persoalan tersebut bermuara pada ekosistem properti yang perlu dibenahi. Kualitas ekosistem industri properti dinilai cukup krusial tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan permukiman saja, tetapi juga untuk menggerakkan ekonomi.

“Ekosistem industri properti peranannya sangat penting dan perlu dibenahi agar pemenuhan kebutuhan perumahan, permukiman bisa dilakukan secara efektif dan efisien,” ungkap Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu Kadin Indonesia, Budiarsa Sastrawinata dalam Indonesia Housing Forum yang digelar daring pada Kamis, (14/10/2021).

Ia memaparkan cakupan industri properti sangat luas karena di dalamnya mencakup berbagai aspek seperti kawasan permukiman yang terdiri atas perumahan, ruko, apartemen. Lalu kawasan superblock yang terdiri atas pusat belanja dan perkantoran. Kawasan TOD yang terdiri atas bandara dan pelabuhan. Kawasan pariwisata yang terdiri atas resort, hotel dan eco tourism. Ada juga Kawasan kota baru dan peremajaan kawasan kota, hingga kawasan industri, KEK dan EPZ.

Semuanya itu terkoneksi dengan kebutuhan jasa keuangan seperti perbankan, pajak, REITs, Tapera dan BPJS, serta terkoneksi dengan jasa penunjang lainnya seperti brokerage, konsultan, manajemen pengelola gedung dan perumahan.

“Industri properti memiliki keterkaitan dengan industri konstruksi, infrastruktur, pariwisata, manufaktur dan jasa keuangan,” ungkap Budiarsa.

Ia menyebut, bila dihimpun dengan sektor terkait secara keseluruhan mulai dari kontribusi sektor perumahan; konstruksi; transportasi dan pergudangan; penyediaan akomodasi dan makan minum; pengadaan listrik dan gas; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang; jasa keuangan hingga asuransi, industri properti bisa memberikan kontribusi terhadap PDB Nasional mencapai sekitar 7-9%.

“Industri properti juga bisa menimbulkan efek berganda terhadap 175 industri dan 350 UKM terkait. Penggunaan material lokal bisa 90-100%, serta memperkerjakan sedikitnya hingga 30 juta tenaga kerja,” kata Budiarsa.

Menurutnya, rantai pasok industri properti perlu diidentifikasi secara rinci untuk membenahi permasalahan dan kebijakan, mulai dari tata ruang, ketersediaan lahan dan kepastian hukum pertanahan, kemudahan perijinan, bahan bangunan, insentif, pemasaran, pembiayaan dan tata kelola operasional.

“Bila ekosistem industri propertinya baik, supply chain (rantai pasok) nya juga baik, maka akan mempermudah akselarasi pengembangan kebutuhan di sektor ini,” tandas Budiarsa.

Ia pun optimistis, dengan ekosistem yang berkualitas dan rantai pasok yang baik dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang ditemui di sektor properti, tanpa terkecuali menjawab tantangan di saat ini yaitu menurunkan kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) perumahan.

Sementara itu, Direktur Nasional Habitat Indonesia, Susanto yang juga merupakan Ketua Penyelenggara Indonesia Housing Forum mengatakan, Habitat Indonesia sebagai organisasi non-profit yang fokus pada penyediaan hunian layak di Indonesia juga terus berupaya melakukan advokasi mengenai perumahan terjangkau bagi keluarga-keluarga berpenghasilan rendah.
“Berdiri sejak 24 tahun lalu, Habitat telah melayani lebih dari 168 keluarga memperoleh rumah, sanitasi, dan akses
air”.

Habitat Indonesia memiliki visi yang sama dengan pemerintah dalam upaya mencari solusi atas masalah perumahan di Indonesia, dimulai dari permasalahan lebih dari 7 juta backlog dan lebih dari 2 juta rumah tidak layak bahkan hingga masalah desain rumah yang memadai untuk mengantisipasi perubahan iklim dan new normal.

“Melihat kepada masih jutaan keluarga yang harus dibantu mendapatkan hunian layak terlebih di masa pandemi, Habitat berharap melalui Indonesia Housing Forum setiap peserta yang hadir dapat ditempatkan secara inklusif dengan memposisikan dirinya sebagai pemangku kepentingan sehingga setiap orang lebih mengerti masalah-masalah dan tantangan dalam mewujudkan hunian layak”, tambah Susanto.