Pusako Andalas Menyebut 3 Indikator Amandemen UUD 1945 Bukan Keinginan Rakyat

Politik057 views

Inionline.id – Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut wacana amandemen UUD 1945 untuk memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanya kehendak para elite. Bukan keinginan masyarakat.

Hal ini karena wacana amandemen UUD 1945 terkesan buru-buru dan dilempar oleh segelintir elite politik. Padahal, sebelumnya tidak ada partai politik yang mewacanakan amandemen UUD 1945 saat kampanye Pemilu 2019.

“Indikatornya mudah untuk menentukan apakah niat perubahan UUD ini berasal dari publik. Pertama apakah niat perubahan ini dikampanyekan dalam pemilu sebelumnya. Saya mencatat tidak satu pun partai dalam pemilu 2019 yang lalu mengkampanyekan isu perubahan konstitusi,” kata Feri saat diskusi virtual yang disiarkan melalui YouTube @Rerie Lestari Moerdijat, Rabu (1/9)

“Jadi kalau kemudian menjawab tanda tanya atau pernyataan dari Bu Wakil Ketua Bu Lestari. Saya bisa menjawabnya bahwa ini bukan kepentingan publik tapi kepentingan elite,” lanjutnya.

Dia mengatakan bila wacana amandemen UUD 1945 merupakan usulan masyarakat, sudah sepatutnya disuarakan sejak pemilu. Kemudian terjadi dialog antara partai politik dengan elemen masyarakat.

“Maka kepentingan kalau dari partai mayoritas atau koalisi mayoritas akan dominan. Pertarungan tidak akan sehat. Sewaktu-waktu akan merugikan partai tertentu. Bahkan, bukan tidak mungkin merugikan juga kalau kondisi berbalik, merugikan partai mayoritas. Orang akan merasa pertarungan tidak fair maka terjadi pertarungan politik,” jelasnya.

Feri menilai wacana Amandemen UUD 1945 saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan itu kondisi terkini. Amandemen bukan sesuatu yang mendesak seperti pandemi Covid-19.

“Kedua apa indikator perubahan UUD dianggap perlu, yaitu kebutuhan kekinian. Saya mau mengatakan begini, kebutuhan publik hari ini apa sih, Covid-19 di depan mata banyak korban berjatuhan. Pelayanan kesehatan yang tidak menyeluruh, tidak mencukupi publik secara baik,” ujarnya.

Alasan Amandemen UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) demi keberlanjutan pembangunan juga tidak bisa diterima. Menurutnya, Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak orde lama dan baru tidak ada data pembangunan berkelanjutan.

“Fakta kemudian, selama kemudian digunakan GHBN baik di order lama orde baru tidak ada pembangunan yang berkelanjutan. Yang ada pembangunan dikelola secara berkelanjutan oleh kelompok tertentu. Sejak kapan pembangunan di orde baru dan order lama brrkelanjutan dengan GBHN,” jelasnya.

Padahal, kata Feri, bila niatnya hanya ingin sekedar memasukan PPHN, rencana itu tidaklah relevan. Alasannya, program pembangunan berkelanjutan sudah diatur dalam Undang-undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

“UU 25 inilah kemudian penting menciptakan pembangunan berkelanjutan. Apa yang menjadi penyebabnya tidak terjadinya pembangunan berkelanjutan dibawah UUD ini, pertama kepentingan politik yang sangat egois,” ucapnya.

“Faktanya tidak ada proses pengawasan agar betul-betul proses pembangunan sesuai dengan UU ini. Jadi tidak bisa disalahkan pembangunan yang tidak berkelanjutan karena tidak ada GBHN. Yang jelas karena UUD ini tidak diawasi tidak ditegakkan oleh berbagai pihak-pihak,” lanjutnya.