Demokrat Menyiapkan Legislative Review UU Cipta Kerja

Politik157 views

Inionline.id – Ketua DPP Partai Demokrat Didik Mukrianto mengatakan, Demokrat menyiapkan legislative review terhadap UU Cipta Kerja. Serta, akan mengusulkan revisi UU Cipta Kerja oleh Fraksi Demokrat di DPR.

Hal itu sebagai sikap Partai Demokrat yang menolak persetujuan RUU Cipta Kerja di rapat paripurna DPR.

“Tentu kami akan menyiapkan langkah-langkah legislative review melalui tata cara dan mekanisme yang diatur dalam UU, termasuk hak kami sebagai anggota FPD DPR RI untuk mempertimbangkan langkah-langkah mengusulkan Revisi UU Cipta Kerja,” ujar Didik kepada wartawan Rabu (4/10).

Didik mengatakan, Demokrat menyadari bahwa langkah yang tersisa menghadapi UU Cipta Kerja adalah dengan legislative review.

Demokrat juga menghormati dan mendukung pihak yang memiliki kesamaan pandangan. Didik mengatakan, pihak yang menolak UU Cipta Kerja juga memiliki ruang untuk menggugat UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.

“Kami sangat menghormati dan secara moral mensuport segenap pihak yang punya kesamaan pandang dengan Demokrat untuk berjuang dalam jalur konstitusi dan undang-undang. Setelah disahkan ini, tentu ruang dan standingnya terbuka untuk dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata Didik.

UU Cipta Kerja Digugat Buruh ke MK

Sejumlah elemen buruh resmi mendaftarkan gugatan uji materi atau judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Gugatan ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) versi Andi Gani Nena (AGN).

“Pendaftaran gugatan JR (judical review) UU cipta kerja Nomor 11/2020 sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke MK di bagian penerimaan berkas perkara oleh KSPI dan KSPSI AGN,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, Selasa (3/11).

Said mengatakan, KSPI bersama buruh Indonesia secara tegas menolak dan meminta agar UU Cipta Kerja dibatalkan atau dicabut. Menurutnya, isi UU Cipta Kerja merugikan para buruh.

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” ujarnya.

Berdasarkan kajian dan analisa yang dilakukan, KSPI menemukan banyak pasal yang merugikan para buruh. Salah satunya yakni, sisipan Pasal 88 C ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88 C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

“Penggunaan frasa ‘dapat’ dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK,” terang Said.

Selain itu, KSPI menilai UU Cipta Kerja menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau karyawan.

“PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja,” tuturnya.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Senin (2/11/2020). Pada tanggal yang sama, UU ini juga diteken oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

UU Cipta Kerja diundangkan dalam Nomor 11 tahun 2020. Adapun naskah UU yang disahkan DPR dalam rapat paripurna 5 Oktober lalu, setebal 1.187 halaman.

“Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 186 sebagaimana dikutip Liputan6.com dari salinan UU Cipta Kerja, Senin.

UU yang menuai berbagai penolakan kini sudah bisa diakses oleh publik melalui situs Kementerian Sekretariat Negara. Masyarakat dapat mengunduh UU Cipta Kerja melalui laman jdih.setneg.go.id, pada bagian produk hukum terbaru.