Produksi Narkoba Sekarang Meningkat di Asia

Internasional057 views

inionline.id – Laporan terbaru Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Obat dan Kejahatan (UNODC) memperingatkan peningkatan produksi metamfetamin di Asia Tenggara tahun lalu.

Produksi yang melimpah itu mengakibatkan suplai berlebihan di kawasan tersebut. Laporan berjudul ”Obat Sintetis di Asia Timur dan Asia Tenggara: Tren dan Pola Stimulan tipe amfetamin dan Substansi Psikoaktif Baru” itu menjelaskan perkembangan dan tantangan di pasar narkoba di kawasan yang berubah pesat karena peningkatan produksi, perdagangan dan penggunaan narkoba sintetik.

”Data penyitaan, harga, penggunaan, dan perawatan, semua poin itu menunjukkan terus meluasnya pasar metamfetamin di Asia Timur dan Asia Tenggara,” papar Tun Nay Soe, Koordinator Program Antarkawasan UNODC dalam website lembaga itu.

Tun menambahkan, ”Penyitaan metamfetamin pada 2018 kembali mencapai rekor, saat harga narkoba itu di jalanan terus turun di banyak kawasan yang menunjukkan tingkat ketersediaan yang sangat tinggi dan meningkat.”

Skala peningkatan penyitaan metamfetamin sangat tinggi di penjuru kawasan, khususnya di negara-negara yang dilintasi Sungai Mekong. Di Thailand saja sebanyak 515 juta tablet metamfetamin disita pada 2018 atau 17 kali lebih banyak dibandingkan total narkoba yang disita satu dekade silam.

Penyitaan metamfetamin di China dan negara lain juga meningkat pada 2018. ”Volume metamfetamin dan narkoba sintetik lain yang berasal dari Segitiga Emas hingga Thailand telah mencapai level yang tak pernah terjadi sebelumnya,” tutur Sekretaris Jenderal Kantor Badan Kontrol Narkotika Thailand (ONCB) Niyom Termsrisuk.

Dia menjelaskan, ”Jumlah besar narkoba sintetik yang telah diperdagangkan ke negara- negara tetangga di kawasan juga bertambah. Tantangan meningkat dan penting bagi kita bekerja sama dengan UNODC dan kawasan untuk menghambat aliran bahan baku kimia yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin dan narkoba sintetik lainnya.”

”Kami akan membahas berbagai solusi dengan para pemimpin kawasan saat kami menjadi tuan rumah Mekong MOU untuk Rapat Kementerian Kontrol Narkoba pada Juni tahun ini.” Saat pasar metamfetamin terus meluas di Asia Timur dan Tenggara, jenis psikoaktif baru (NPS) juga muncul di kawasan.

Pada 2018, total 434 NPS terdeteksi di kawasan, termasuk opioid sintetik seperti fentanyl dan analognya. Munculnya NPS itu menjadi tantangan besar bagi otoritas dan warga di berbagai negara kawasan tersebut.

”Selain metamfetamin yang menjadi perhatian utama karena peningkatan jumlah penyitaan dan turunnya harga di jalanan, opioid sintetik dan narkoba lain juga ditemukan di penjuru kawasan,” ujar Jeremy Douglas, Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik.

Dia menjelaskan, ”Kepemimpinan dan otoritas nasional mulai memahami bagaimana narkoba sintetik itu mengubah pasar narkoba dan kami harap mereka menggunakan Rapat Kementerian Mekong di Bangkok dan pertemuan pemimpin ASEAN untuk membahas situasi itu dan strategi mereka. Ini bukan bisnis seperti biasa dan sudah seharusnya mengubah respons.”

Tidak seperti narkoba lain yang memerlukan tempat dan struktur produksi lebih rumit, narkoba sintetik dapat dibuat hampir di semua tempat selama ada bahan kimia yang menjadi bahan baku pembuatannya.

UNODC bekerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk memantau tren narkoba dan menyediakan pakar untuk mendeteksi, investigasi, dan respons kesehatan publik, serta menciptakan ruang bagi semua negara untuk berkolaborasi dan merespons bersama.

Data UNODC menunjukkan sebanyak 116 ton metamfetamin di kawasan pada 2018, tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan pada 2013 dan lebih banyak dari 82 ton yang disita pada 2017. Laporan itu mencakup 13 negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Myanmar, Jepang, dan China.

Dengan pengecualian Vietnam, 13 negara melaporkan metamfetamin sebagai kekhawatiran utama mereka pada 2018. ”Perubahan pada metamfetamin memengaruhi negaranegara yang biasanya terkenal sebagai pasar besar untuk heroin, seperti China dan Malaysia,” ungkap laporan UNODC.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *