Keterbatasan Teknologi untuk Cek Hilal Ramadhan Dibeberkan Ahli BRIN

Iptek757 views

Inionline.id – Pakar astronomi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengakui teknologi teleskop saat ini belum bisa sepenuhnya mengalahkan kondisi alam buat memantau hilal.

Sebelumnya, prakiraan kondisi hilal atau bulan sabit tipis penanda awal Ramadhan menunjukkan angka-angka yang masih di bawah kriteria awal bulan hijriah versi Pemerintah.

Sementara, Muhammadiyah lebih dulu memutuskan Ramadhan jatuh pada Senin (11/3). Perbedaan awal puasa pun diprediksi terjadi.

“Terkait peran teknologi dalam menyatukan perbedaan penentuan awal Ramadhan, sebelumnya perlu dipahami, bahwa fungsi teleskop itu adalah untuk mengumpulkan cahaya, dengan mengumpulkan cahaya maka objek yang redup itu bisa lebih jelas lagi,” kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa di BRIN itu, pada acara Media Lounge Discussion (MEDIA) di Gedung BJ Habibie, Jumat (8/3).

Thomas mengemukakan masalah dari proses rukyatul hilal atau pengamatan hilal itu tak bisa selesai hanya dengan menggunakan teknologi canggih.

“Masalah pada rukyatul hilal itu tidak sesederhana itu,” tambahnya.

Pada rukyatul hilal, lanjutnya, cahaya hilal yang tipis memang diperkuat oleh teleskop. Namun, hal tersebut berdampak pada cahaya syafaq (cahaya senja)-nya yang juga ikut diperkuat.

“Jadi, persoalan pada rukyatul hilal adalah persoalan kontras, antara cahaya hilal yang sangat tipis dengan gangguan cahaya syafaq yang masih cukup terang,” jelas Thomas.

Masalah cahaya syafaq inilah yang membuat munculnya berbagai kriteria awal hijriah versi kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura (MABIMS).

Contohnya, tinggi hilal (besar sudut yang dinyatakan dari posisi proyeksi Bulan di Horizon-teramati hingga ke posisi pusat piringan Bulan berada) dan elongasi (jarak sudut antara pusat piringan Bulan dan pusat piringan Matahari yang diamati oleh pengamat di permukaan Bumi).

“Itu sebabnya kemudian ada batasan jarak minimal supaya hilal bisa terlihat atau elongasi supaya hilal itu tebalnya ada batas minimalnya, karena kalau terlalu tipis akan kalah oleh cahaya syafaq,” paparnya.

Teknologi rukyat siang hari

Thomas juga menyinggung soal potensi rukyat di siang hari yang memungkinkan memantau hilal dengan lebih jelas. Pasalnya, cahaya langit pada saat magrib mirip hilal yang membuat penampakan bulan kurang jelas.

Sementara, tidak ada filter yang bisa digunakan untuk meningkatkan kontras pada saat magrib.

“Beda dengan pada saat sesudah Matahari terbenam, cahaya langit bukan biru, tapi cahaya langit warnanya agak kuning kemerahan mirip seperti cahaya hilal. Sehingga, tidak ada filter yang bisa digunakan untuk meningkatkan kontras pada saat magrib,” urainya.

Ia menyebut pada prinsipnya pemantauan pada siang dilakukan dengan cara yang sama, yakni meningkatkan kontras. Hal ini dilakukan karena cahaya biru dari langit bisa ditekan oleh filter inframerah, sehingga nantinya cahaya hilal itu bisa ditingkatkan dan lebih tampak.

Masalahnya, proses rukyat pada siang hari tak sesuai fiqih.

“Dan bulan sabit pada saat siang hari itu tidak dianggap sebagai hilal, karena jika bulan sabit siang hari dianggap sebagai hilal ini akan menimbulkan masalah fiqih,” jelas Thomas.

“Jadi rukyat siang hari tidak bisa dijadikan dasar sebagai hilal penentu awal Bulan. Walaupun secara teknologi memungkinkan untuk bisa melihat bulan sabit pada siang hari,” tandasnya.