Imbas Krisis Iklim Cuaca Ekstrem Naik 2 Kali Lipat

Iptek1057 views

Inionline.id – Pakar klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengungkap cuaca ekstrem terjadi lebih parah imbas krisis iklim yang sedang terjadi. Cek penjelasannya.

“Di tengah Bumi yang mendidih, cuaca ekstrem telah dikalkulasi meningkat 1,5 hingga 2 kali lipat semula dalam hal magnitudo, intensitas, dan frekuensi. Satu lagi, semakin banyak fenomena yang dianggap hanya terjadi di lintang menengah kini dapat terbentuk di Indonesia,” papar Erma dalam rangkaian cuitannya di X (sebelumnya Twitter), Sabtu (24/2).

Erma mengatakan salah satu indikasinya adalah kemunculan cuaca ekstrem yang mulanya diyakini hanya bisa terjadi di lintang menengah atau mid-latitude kini dilaporkan terjadi di wilayah sekitar ekuator.

“Siklon tropis awalnya dianggap mustahil terbentuk di dekat ekuator karena tidak ada gaya coriolis yang mendukungnya. Namun Vamei terbentuk dekat ekuator dan menghantam Singapura (nol lintang) pada 27 Desember 2001. Siklon ini dibentuk karena interaksi vorteks Borneo dan CENS,” ujar Erma.

Contoh lainnya, kata Erma, adalah siklogenesis atau bibit siklon yang semula para pakar tidak yakin ini terjadi di atas laut yang tertutup, apalagi lokasinya berada di dekat ekuator. Namun, bibit siklon Seroja dilaporkan pertama kalinya tumbuh di atas perairan Banda karena efek interaksi antara gelombang Rossby dan MJO (Madden Julian Oscillation).

Kemudian, Erma juga menyoroti puting beliung yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat, Rabu (21/2). Erma sebelumnya sempat menyatakan bahwa kejadian itu sebagai ‘tornado’ pertama di Indonesia.

Erma menjelaskan puting beliung selama ini hanya merupakan fenomena skala mikro (radius kurang dan 2 km) dan durasi kejadian sangat singkat kurang dari 5 menit dan dianggap tidak mungkin membesar apalagi terjadi dalam durasi lama karena hanya berupa corong awan Cumolonimbus.

“Namun untuk pertama kalinya, kami menemukan mekanisme badai konvektif berupa Bow Echo yang dibentuk oleh meso-konvergensi dan memicu meso-vorteks sehingga pusaran angin dapat terjadi mirip tornado yang skalanya mencapai 2 km dan kecepatannya hampir memenuhi syarat treshold F0,” jelas dia.

“Pada dasarnya, mengukur kecepatan maksimum angin tornado sangat sulit dilakukan kecuali terdapat alat ukur yang dimasukkan ke dalam pusaran angin atau terdapat alat ukur cuaca yang secara lokasi sangat dekat dengan pusaran anginnya,” tambahnya.

Oleh karena itu, kata Erma, ilmuwan merancang cara memperkirakan kekuatan angin dari dampak kerusakan yang ditimbulkan dan luasannya. Kekuatan hampir mencapai 70-100 km/jam jika pohon-pohon bertumbangan dan kerusakan lebih dari 300 rumah. Dalam kasus Rancaekek, kerusakan meliputi lima kecamatan.

Para ilmuwan sebelumnya juga mengungkap kaitan badai yang semakin kencang dalam beberapa tahun terakhir dengan pemanasan global. Masalahnya, belum ada model prediksi akurat.

Risiko banjir semakin meningkat di California dan daerah lain di bagian barat Amerika yang gersang, dan memiliki informasi yang lebih akurat akan sangat penting untuk memitigasi bencana terburuk.

“Mengingat jumlah pemanasan yang telah kita lihat sejauh ini, kami memperkirakan bahwa kejadian curah hujan yang besar akan menjadi sekitar 10 persen lebih kuat daripada sebelum gas rumah kaca ditambahkan ke atmosfer,” kata Alex Hall, seorang ahli fisika atmosfer dan ilmuwan iklim dari UCLA.

“Hal yang menakutkan adalah jika Anda melihat ke masa depan ke titik di mana kita mengalami pemanasan dua kali lebih banyak daripada hari ini, Anda akan mengalami peristiwa yang 20 persen lebih intens, dan level peristiwa yang sama sekali baru yang bahkan tidak ada sekarang.”