MK Tolak Syarat Usia Minimal Capres-Cawapres 40 Tahun, ini Alasannya

Politik957 views

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil nomor 141/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur atau wakil gubernur.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Hal itu karena mahkamah menilai pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Permohonan ini diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana.

Ia ingin MK menyatakan syarat usia capres-cawapres bisa di bawah 40 tahun asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi, yakni gubernur atau wakil gubernur.

Hal itu bertalian dengan syarat usia capres-cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Mahkamah berpendapat putusan a quo (Putusan 90) adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang mengandung makna terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum pada Putusan 141 di Ruang Pleno Gedung MKRI, Jakarta, Rabu (29/11).

Enny mengatakan hal itu karena MK sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk “upaya hukum”.

Menurut Enny, hal tersebut juga menegaskan bahwa putusan MK berlaku dan mengikat serta harus dipatuhi oleh semua warga negara termasuk lembaga negara sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum tanpa adanya syarat apapun.

Sebagai konsekuensi yuridisnya, jelas Enny, jika ada subjek hukum atau pihak tertentu yang berpendapat terhadap putusan MK terdapat hal-hal yang masih dirasakan adanya persoalan konstitusionalitas norma terhadap isu konstitusionalitas yang telah diputuskan atau dikabulkan oleh MK, maka dapat mengajukan pengujian inkonstitusionalitas norma dimaksud kepada MK.

Upaya itu dapat dilakukan sepanjang tidak terhalang oleh ketentuan Pasal 60 UU MK maupun Pasal 78 PMK 2/2021, atau dapat meminta untuk dilakukan legislative review dengan cara mengusulkan perubahan kepada pembentuk undang-undang.

Adapun Pemohon menilai ketentuan Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009 seharusnya dapat diterapkan pula kepada MK. Hal itu mengingat MK merupakan badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman dan memiliki landasan konstitusional yang sama, in casu
Pasal 24 UUD 1945.

Jika ketentuan pasal tak dapat diterapkan, kata pemohon, maka akan menjadi berbahaya bagi perkembangan MK. Pemohon mengatakan hal itu dikaitkan dengan Putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) 2/2023 yang menyatakan adanya konflik kepentingan serta adanya intervensi dari pihak luar.

Enny menerangkan secara faktual, Pasal 17 UU 48/2009 merupakan ketentuan yang mengatur tentang pengejawantahan sistem peradilan yang terpadu, baik Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta MK.

Namun, Enny menyebut masing-masing badan peradilan, baik peradilan yang berada di MA dan lingkungan peradilan di bawahnya, dan juga MK dalam menjalankan tugas wewenang yudisialnya bertumpu pada hukum acara yang mengatur tata cara beracara pada masing-masing peradilan yang bersifat khusus.

Masing-masing dari aturan itu memiliki karakter dan akibat hukum yang berbeda-beda apabila hukum acara dimaksud tidak dipenuhi.

“Khusus ketentuan norma Pasal 17 UU 48/2009, jika dicermati memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang tidak seluruh ketentuan yang ada dalam pasal dimaksud dapat diterapkan dalam praktik peradilan Mahkamah Konstitusi,” kata Enny.

“Demikian halnya berkenaan dengan amanat Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 yang meminta agar perkara dapat kembali diperiksa dengan susunan majelis hakim yang berbeda adalah ketentuan yang juga tidak mungkin dapat diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Enny.

Enny menjelaskan karena dalam putusan MK wajinb diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi oleh sembilan atau sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi.

Karenanya, pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 mustahil dapat diterapkan di MK.

Mahkamah disebut lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus. Hal ini sejalan dengan asas “lex specialis derogat legi generali”, yakni ketentuan yang lebih khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.

MKMK tak nilai Putusan 90 cacat hukum

Selain itu, pemohon menilai Putusan MKMK 2/2023 pada intinya menyimpulkan bahwa proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dilakukan secara melanggar etik dan hukum.

Karena itu, pemohon berpendapat telah terdapat pelanggaran atas kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terjadi dalam proses pemeriksaan hingga pengambilan keputusan terhadap Putusan 90.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menerangkan pertimbangan hukum mahkamah terkait hal itu. Daniel menyebut mahkamah mencermati pertimbangan Putusan MKMK 2/2023 pada halaman 358 yang intinya menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Dari pertimbangan Putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK tidak sedikitpun memberikan penilaian bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa Putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifatĀ  final dan mengikat,” tegas Daniel.

Oleh karenanya, Daniel menerangkan tidak ada pilihan lain bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan 90 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sejalan dengan pendirian MKMK dalam Putusan Nomor 2/2023 tersebut.

“Mahkamah berpendapat dalil pemohon berkenaan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, adanya konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak serta merta dapat dibenarkan,” kata Daniel.

MK sebelumnya mengubah ketentuan syarat usia minimal capres-cawapres dari awalnya paling rendah 40 tahun menjadi paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah melalui Putusan 90.

Putusan 90 itu menuai banyak sorotan publik karena dinilai memudahkan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga anak Presiden Joko Widodo sekaligus keponakan Hakim Konstitusi Anwar Usman (saat itu menjabat sebagai Ketua MK) untuk ikut serta di Pilpres di 2024 meski usianya belum 40 tahun.

Karenanya, putusan itu mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pihak bahkan mengajukan protes dan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada MKMK terkait putusan itu.

Alhasil, Anwar dinilai terbukti melanggar kode etik perilaku hakim dan akhirnya dicopot dari jabatan Ketua MK. Kini, Gibran telah resmi menjadi cawapres nomor urut 2 bersama dengan capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.