Soal Proyek BRI, Jokowi Berterima Kasih ke China

Ekonomi457 views

Inionline.id – Presiden Joko Widodo berterima kasih kepada China yang terus berkontribusi untuk kemajuan negara berkembang. Terima kasih terutama ia sampaikan terkait pelaksanaan Program Belt and Road Initiative yang dilaksanakan negara tersebut.

“Saya menyampaikan terima kasih kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dan Presiden Xi (Jinping) atas kontribusinya bagi negara-negara berkembang melalui Belt and Road Initiative (BRI),” kata Jokowi dalam kunjungan kerjanya di China, Rabu (18/10).

“Pepatah China mengatakan ‘Yi Khung Yi Shian’ atau kegigihan akan mewujudkan keajaiban. Mari berjuang gigih bersama memajukan pembangunan ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.

Satu dekade BRI membuat Jokowi berharap sinergi dapat terus terjalin. Ia ingin pembangunan infrastruktur di tengah gejolak dunia masih bisa berlangsung dengan pendanaan dari BRI.

Jokowi menegaskan pentingnya upaya bersama dalam menjaga nilai-nilai utama agar inisiatif BRI makin kuat dan berdampak. Namun, ia menolak kerja sama Indonesia-China ini dipolitisasi.

Ia lantas menyampaikan tiga poin utama demi keberlangsungan BRI. Pertama, sinergi yang memberikan ruang kepemilikan bagi negara tuan rumah.

“Indonesia memiliki proyek nasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang kemudian disinergikan dengan BRI dan baru-baru ini telah diluncurkan dan dioperasionalkan,” tuturnya.

“Ke depan kami juga akan sinergikan pembangunan Ibu Kota Baru, IKN, transisi energi dan hilirisasi industri,” sambungnya.

Kedua, ia berharap proyek BRI harus direncanakan dengan matang serta berlandaskan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan. Ia juga mendorong pendanaan transparan, penyerapan tenaga kerja lokal, dan pemanfaatan produk dalam negeri.

Ketiga, Jokowi ingin memastikan keberlanjutan proyek BRI hingga jangka panjang. Harapannya, ini bisa memperkokoh pondasi ekonomi negara mitra, bukan mempersulit kondisi keuangannya.

China di bawah Xi Jinping melaksanakan Program Belt and Road atau yang populer dikenal dengan sebutan “Jalur Sutera Baru” pada 2013. Kebijakan ini meliputi pembangunan rel kereta, jalan dan pelabuhan di seluruh dunia.

Proyek itu didanai dengan dana pinjaman Beijing bernilai miliaran dolar di sejumlah negara. Namun, di tengah perjalanan, BRI dituduh oleh banyak kalangan sebagai jebakan utang China.

Jebakan itu salah satunya diungkap satu studi yang dilakukan oleh Pusat Pembangunan Global, satu lembaga peneliti AS. Studi menemukan “kekhawatiran serius” terkait keberlanjutan utang asing di delapan negara penerima dana Jalur Sutera ini.

Negara itu adalah Pakistan, Djibouti, Maladewa, Mongolia, Laos, Montenegro, Tajikistan dan Kyrgyztan.

Studi ini memaparkan bahwa biaya proyek kereta China-Laos, sebesar US$6,7 miliar, adalah hampir setengah dari PDB negara-negara Asia Tenggara.

Di Djibouti, IMF telah memperingatkan bahwa negara ini menghadapi risiko tinggi akibat tekanan utang. Pasalnya, utang negara itu naik dari 50 persen dari PDB pada 2014 menjadi 85 persen pada 2016.