Demi Kualitas Udara Lebih Baik, PLN Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik

Berita157 views

Inionline.id – PT PLN (Persero) mengajak masyarakat beralih menggunakan kendaraan listrik sebagai alternatif untuk mengurangi polusi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Ajakan itu antara lain menjadi respons atas penurunan kualitas udara belakangan ini. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan, dukungan PLN mendukung terhadap upaya pemerintah mengurangi emisi melalui penggunaan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur yang memadai di seluruh daerah.

Darmawan mengatakan, pembangunan tersebut sekaligus merupakan langkah strategis perseroan yang tidak hanya bertujuan mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong transformasi energi nasional.

“Sejalan dengan dengan pemberian insentif motor listrik dari pemerintah untuk pembelian motor baru dan konversi motor konvensional berbahan bakar minyak (BBM) menjadi listrik, PLN siap mendukung penuh dengan menyediakan infrastruktur yang memadai, harapannya masyarakat tidak ragu untuk beralih ke kendaraan listrik,” kata Darmawan.

Masyarakat yang hendak beralih ke EV dipastikan tidak perlu risau, sebab untuk setiap pembelian kendaraan listrik, khususnya roda empat, pelanggan akan mendapatkan layanan pemasangan home charging gratis, juga diskon tarif listrik untuk pengisian daya di jam 22.00 WIB sampai dengan 05.00 WIB.

Selain itu, lanjut Darmawan, infrastruktur pengisian daya umum juga telah tersedia. Saat ini, PLN telah mengoperasikan lebih dari 600 SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum), lebih dari 1.400 SPBKLU (Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum), dan lebih dari 9 ribu SPLU (Stasiun Pengisian Listrik Umum) di Indonesia.

“Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan kendaraan listrik di tanah air,” kata Darmawan.

Lebih jauh, Darmawan menjelaskan bahwa peralihan ke kendaraan listrik adalah pilihan strategis, karena sektor transportasi diketahui menjadi salah satu penyumbang utama emisi karbon.

Pada 2020, emisi mencapai 280 juta ton CO2e. Jika tidak ada perubahan, diperkirakan pada 2060 emisi dapat mencapai lebih dari 1 miliar ton CO2e per tahun. Adapun jumlah emisi yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan listrik akan terus berkurang seiring peningkatan bauran energi baru terbarukan.

“Jika kita membandingkan emisi yang dihasilkan antara EV dan kendaraan berbahan bakar minyak berarti 1 liter BBM sama dengan 1,2 kWh listrik, maka emisi karbon 1 liter BBM adalah 2,4 kg CO2e, sedangkan emisi karbon 1,2 kWh listrik adalah 1,3 kg CO2e. Artinya dengan menggunakan kendaraan listrik kita sudah mengurangi sekitar 50 persen emisi karbon,” papar Darmawan.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Reliantoro mengatakan, kualitas udara yang rendah di Jakarta belakangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk sektor transportasi sebagai penyumbang terbesar emisi, yakni sebesar 44 persen.

Sektor lain yang juga berkontribusi terhadap jumlah emisi adalah sektor industri sebesar 31 persen, industri energi manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan sektor komersial 1 persen.

“Kalau dari segi bahan bakar, yang digunakan di DKI Jakarta, bahan bakar itu adalah sumber emisi. Dari gas itu 51 persen, dari minyak itu 49 persen, dan dari batu bara 0,42 persen,” ungkap Sigit.

Menurut Sigit, kondisi ini diperparah dengan siklus udara kering yang datang dari timur setiap bulan Juni-Agustus.

Data ISPU (Index Standar Pencemaran Udara) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, pada 2020 ketika tingkat mobilisasi kendaraan rendah akibat pandemi, terjadi penurunan emisi partikulat (PM10) mencapai angka 29,41 mg/Nm3.

Angka itu kemudian meningkat signifikan sebesar 155 persen atau mencapai 75 mg/Nm3 pada 2022, di mana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berangsur dilonggarkan. Data tersebut menjadi bukti, sektor transportasi menyumbang sebagian besar emisi di Jakarta, di mana pada periode yang sama pembangkit-pembangkit listrik tetap beroperasi secara penuh.

“Peluang terbesar untuk memperbaiki kualitas (udara) adalah dengan memperbaiki sektor transportasi. Baru kemudian alat pengendali pencemaran dari industri,” imbuh Sigit.