Per 7 September Kemendag Klaim Harga Telur Ayam Sudah Turun 2,2 Persen

Ekonomi357 views

Inionline.id – Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengklaim harga telur ayam ras secara nasional sudah turun 2,2 persen per 7 September kemarin.

Penurunan harga terbesar katanya, terjadi di Jawa dan Sumatra. Untuk di Jawa, penurunan tercatat mencapai 5,7 persen.

Sementara itu di Sumatra, harganya sebesar Rp28.890 per kg atau turun 1,1 persen selama sepekan kemarin. Ia mengatakan penurunan terjadi di dua daerah itu karena Jawa dan Sumatra merupakan sentra produksi telur ayam ras.

“Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia, tercatat per 7 September 2022 harga telur ayam ras di tingkat eceran sebesar Rp30.800 per kg, turun 2,2 persen dibandingkan seminggu sebelumnya yang Rp31.500,” katanya dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan di Jakarta, Kamis (8/9).

Sedangkan untuk di DKI Jakarta, ia mengatakan penurunan harga sudah mencapai 4,9 persen dari Rp30.650 per kg menjadi Rp29.150 selama seminggu ini. Ia mengatakan penurunan harga telur di DKI Jakarta paling besar terjadi di Pasar Senen, Pasar Minggu, Pasar Lenteng Agung, dan Pasar Pramuka.

Di pasar itu, telur sudah dijual dengan harga Rp28 ribu.

“Meskipun di beberapa pasar masih ada yang menjual dengan harga Rp32 ribu per kg seperti di Pasar Paseban, Pasar Tanah Abang, Pasar Rawa Badak, dan Pasar Glodok,” kata Syailendra.

Masih di Atas Rp30 Ribu

Meski telah mengalami tren penurunan, ia mengatakan harga telur di luar Jawa dan Sumatra masih berada di atas kisaran harga Rp30 ribu per kg.

Kemudian, rata-rata harga telur di wilayah Bali dan Nusa Tenggara masih Rp31.100 per kg atau turun 2,3 persen dibandingkan seminggu sebelumnya, Kalimantan sebesar Rp31.860 per kg atau turun 2,8 persen, Sulawesi sebesar Rpp30.950 per kg atau turun 2,7 persen, serta Maluku dan Papua sebesar Rp37.800 per kg atau turun 0,6 persen.

Ia mengatakan masih tingginya harga telur di daerah tersebut dipicu defisit pasokan.

“Selain karena defisit pasokan di luar Jawa dan Sumatra, faktor biaya distribusi dan risiko kerusakan telur, seperti telur busuk dan pecah, saat pengiriman juga menjadi salah satu penyebab terjadinya disparitas harga,”kata Syailendra.