Tentara Sri Lanka Diperintahkan Tembak Perusuh Setelah Rumah Pejabat Dibakar Massa

Internasional057 views

Inionline.id – Petugas keamanan Sri Lanka diperintahkan menembak para perusuh di tempat untuk meredam aksi antipemerintah yang masih terus berlanjut setelah Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa mundur.

Para demonstran menyerukan mundurnya Presiden Gotabaya Rajapaksa karena terjadinya krisis ekonomi terparah negara itu. Abangnya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, mundur pada Senin (10/05) di tengah bentrokan tentara dan para pengunjuk rasa.

Namun mundurnya Mahinda Rajapaksa gagal meredam protes yang berlangsung sampai Senin malam.

Pemerintah menginstruksikan tentara untuk melepaskan tembakan bagi siapapun yang menjarah atau “membahayakan nyawa orang.”

Pemerintah mengerahkan puluhan ribu tentara, personel angkatan laut dan udara untuk berpatroli di jalan-jalan ibu kota Colombo.

Walaupun banyak tentara yang dikerahkan, pejabat tinggi polisi di Colombo diserang pada Selasa sore (10/05) oleh massa yang menuduhnya tidak berbuat cukup melindungi demonstran yang melakukan aksi protes damai.

Sri Lanka dilanda krisis ekonomi dan utang ke China menumpuk, warga ‘tak punya harapan’

Kerumunan massa antipemerintah membakar beberapa rumah milik keluarga Rajapaksa, beberapa menteri, dan anggota parlemen setelah Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri Sri Lanka.

Aksi tersebut memicu bentrok dengan kubu pendukung pemerintah di luar kediaman Mahinda Rajapaksa. Kepolisian dan pasukan antihuru-hara kemudian dikerahkan. Aparat melepaskan gas air mata dan menembakkan meriam air.

Pejabat KBRI di ibu kota Colombo, Heru Prayitno mengatakan jalan-jalan sepi karena adanya jam malam.

“Situasi jalan-jalan pada malam ini mulai tenang, tak banyak masyarakat yang lalu lalang. Masyarakat membatasi keluar rumah kecuali untuk keperluan mendesak, karena adanya jam malam sejak Senin sampai Rabu pagi (11/05),” kata Heru.

Kericuhan semakin bereskalasi dan para demonstran membakar rumah keluarga Rajapaksa, beberapa menteri, dan anggota parlemen. Salah satu rumah yang dibakar adalah kediaman yang dijadikan museum oleh keluarga Rajapaksa di Desa Hambantota, bagian selatan Sri Lanka.

Tayangan yang dibagikan di media sosial memperlihatkan sejumlah rumah dilalap api dan disambut gegap gempita.

Perdana Menteri Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa, mengundurkan diri di tengah gelombang demonstrasi massal yang memprotes cara pemerintah menangani krisis ekonomi.

Pria berusia 76 tahun itu mengirimkan surat pengunduran diri kepada adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.

Dalam surat tersebut, dia menulis mengenai harapan dirinya untuk mengatasi krisis ekonomi namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tampaknya tidak memuaskan kubu oposisi kecuali kalau dia mundur.

Pengunduran diri, menurut Rajapaksa, diniatkan untuk mendorong terbentuknya “pemerintahan yang terdiri dari semua partai demi menuntun negara ini keluar dari krisis ekonomi”.

Reuters Rumah menteri Sananth Nishantha dbakar massa. Getty ImagesBeberapa kendaraan dibakar di rumah kediaman resmi Mahinda Rajapaksa di Kota Kolombo.

Sejak gelombang demonstrasi muncul pada awal April, para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor perdana menteri guna menuntut Rajapaksa lengser.

Demonstrasi ini memicu bentrokan berdarah antara kubu antipemerintah dan pendukung Rajapaksa di Ibu Kota Kolombo. Sedikitnya 78 orang cedera akibat bentrokan tersebut, menurut pihak rumah sakit.

Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk sejak meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Pemerintah bahkan meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar, setelah negara itu gagal membayar utang luar negeri senilai $51 miliar (Rp732 triliun).

Getty ImagesMahinda Rajapaksa menjabat presiden selama dua periode, kemudian menjabat sebagai perdana menteri di bawah adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.

Cadangan devisa Sri Lanka telah habis dan tidak lagi bisa menopang kebutuhan rakyat, seperti makanan pokok, obat-obatan, dan bahan bakar.

Para dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting karena krisis ekonomi negara itu memburuk.

Kondisi ini membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.

Pemerintah menyalahkan pandemi Covid yang mematikan sektor pariwisata. Namun, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi.

AFPPara pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor kepresidenan guna menuntut Rajapaksa lengser.

WNI merasakan dampak krisis di Sri Lanka

Dua warga negara Indonesia yang tinggal di Sri Lanka mengatakan krisis di negara itu sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Ni Putu Eka Yuli Suswantari yang bekerja sebagai terapis spa di ibu kota Colombo mengatakan yang sangat ia rasakan adalah tingginya biaya hidup dan sulitnya pengiriman uang ke Indonesia dengan nilai mata uang yang anjlok.

“Krisis yang terjadi sangat mempengaruhi semua. Semua serba mahal, jadinya kita dapat gaji sekian, dan bekal hidup sekian, semua dihemat,” kata Yuli kepada BBC News Indonesia.

Terapis spa yang sudah bekerja di Sri Lanka selama tiga tahun ini mencontohkan uang yang biasa ia kirim sekitar 140.000 rupee dan biasanya bernilai sekitar Rp6 juta sampai Rp7 juta, “sekarang sampai di Bali, di bawah Rp5 juta”.

WNI lain, Dita Kleyn yang tinggal di Kandy, mengatakan sering mendengar kesulitan rekan-rekan lain yang bekerja di spa.

“Yang mendapat gaji rupee, banyak teman-teman Indonesia yang kerja sebagai terapis spa sangat terdampak sekali untuk pengiriman duit ke Indonesia karena mata uangnya jatuh.”

Dita tinggal selama 12 tahun di Sri Lanka dan suaminya, seorang warga setempat, bekerja di luar negeri.

Namun ia mengatakan juga “sangat terdampak krisis” yang terjadi sejak Maret lalu.

“Kita susah sekali cari sembako, BBM, gas elpiji (untuk masak). Untuk BBM, kita tunggu berjam-jam, dan itupun dijatah. Ada yang antre semalaman,” cerita Dita kepada BBC News Indonesia.

“Sembako ada yang harganya naik empat kali lipat. Belum tarif dasar listrik, akan mengalami kenaikan 100%, yang saya dengar,” tambahnya lagi.

Baik Yuli di Colombo dan Dita di Kandy, yang berjarak sekitar tiga jam berkendara dari ibu kota, sama-sama merasakan pemadaman listrik.

“Bisa sampai empat sampai lima jam sehari. Kita juga pernah mengalami mati listrik sampai 13 jam sehari. Sangat mengganggu sekali untuk kegiatan sehari-hari. Saya sebagai WNI, kami saja sudah sangat kelimpungan, terbebani, apalagi masyarakat lokal,” cerita Dita. Ia biasa menyediakan katering masakan Indonesia bagi yang memesan.

Menurut KBRI di Kolombo, pekerja migran Indonesia di Sri Lanka berjumlah kurang dari 200 orang dan sebagian besar bekerja sebagai spa terapis di ibu kota Kolombo.

Krisis di Sri Lanka bermula setelah negara itu mengumumkan tidak memiliki cadangan devisa untuk membayar utang negara. Sejak bulan lalu, ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk menuntut turunnya Presiden Gotabaya Rajapaksa yang terus menekankan ia tidak akan mundur.

Jumat lalu (06/05), polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa di depan gedung parlemen di ibu kota Kolombo. Para demonstran marah karena naiknya harga kebutuhan pokok.

Transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan sistem perbankan sangat terganggu akibat protes dan pemogokan yang sudah berlangsung lebih dari satu bulan.