Demokrat: Dulu Jokowi dan PDIP Menolak Pembelian Pesawat Kepresidenan

Politik057 views

Inionline.id – Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengingatkan, Presiden Joko Widodo, Fraksi PDIP, dan tim sukses Jokowi menolak pembelian pesawat kepresidenan saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal itu menanggapi pernyataan politikus PDIP Arteria Dahlan yang menyindir ‘post colour syndrome’ terhadap Demokrat yang mengkritik perubahan warna pesawat kepresidenan.

“Publik mesti mengingat, kalau Presiden Joko Widodo, Fraksi PDIP, dan tim sukses Joko Widodo, menolak pembelian pesawat kepresidenan oleh Presiden ke-6 RI, Bapak SBY, pada tahun 2014. Kata Presiden Joko Widodo yang ketika itu masih Gubernur DKI Jakarta, Fraksi PDIP yang diwakili Tjahjo Kumolo, Maruarar Sirait tim sukses Bapak Joko Widodo waktu itu, pesawat kepresidenan belum saatnya dibeli,” ujar Herzaky kepada wartawan, dikutip Kamis (5/8).

“Menurut mereka, lebih baik buat pendidikan dan kesehatan, atau buat mengelola bencana, bahkan mengusulkan untuk dijual kembali,” sambungnya.

Herzaky mengatakan, keuangan negara saat itu lebih kuat dibanding sekarang. Ditambah, sedang tidak diterpa pandemi seperti sekarang. Kebijakan SBY ketika itu, kata Herzaky, visioner karena berhasil membeli pesawat kepresidenan setelah 69 tahun merdeka.

“Betapa visionernya seorang Bapak SBY, membeli pesawat karena memikirkan keselamatan dan kepentingan presiden-presiden selanjutnya setelah Bapak SBY, yang dimulai dari Bapak Joko Widodo. Beliau pun hanya menggunakan beberapa bulan dan beberapa kali saja karena tidak setiap hari digunakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Herzaky mengatakan, Arteria menyampaikan narasi bohong Demokrat telah membahas dan menyetujui pengecatan pesawat kepresidenan. Arteria lupa dengan UU MD3 DPR RI. Sebab pengecatan pesawat itu satuan tiga yang tidak bisa dicek langsung berdasarkan UU MD3 DPR RI.

“Nomenklatur pengecatan pesawat itu merupakan satuan tiga, dan berdasarkan UU MD3 DPR tidak bisa mengecek sampai ke satuan tiga,” ujarnya.

Herzaky juga bilang, UU No.2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 telah memberikan kewenangan pemerintah untuk realokasi dan refokus anggaran untuk penanganan Covid-19. Kata dia, anggaran untuk pengecatan pesawat bisa dialihkan untuk anggaran pandemi.

“Jadi, entah memang tidak paham, atau mau berbohong, ketahuan Arteria dan teman-temannya itu tidak benar kalau berdalih ini sudah dianggarkan sejak tahun 2019, lalu sah-sah saja digunakan anggarannya,” ujarnya.

Sebelumnya, politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan meminta publik tidak terbawa permainan politik pihak-pihak yang merasakan ‘post colour syndrome’. Yang ia plesetkan dari ungkapan ‘post power syndrom’.

“Jangan sampai publik terbawa permainan politik pihak-pihak yang merasakan ‘post colour syndrome’, yang merupakan plesetan dari post power syndrome. Atau sindrom pasca kekuasaan yang terjadi karena tak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang sudah hilang,” ujar Arteria kepada wartawan, Rabu (4/8).

Arteria menilai tidak ada salah pesawat kepresidenan diubah warnanya menjadi merah putih. Ia bilang, kalau mau diperdebatkan seharusnya sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengapa pesawat itu berwarna biru. Padahal, kata dia bisa warna merah putih sesuai bendera negara.

“Warna bendera negara kita kan merah putih, bukan warna biru. Justru kita bertanya, kok dulu tak sejak awal pesawat itu diwarnai merah putih? Lalu apa yang salah dengan warna pesawat kepresidenan jika diubah menjadi merah putih sesuai warna bendera negara kita?” katanya.

Anggota Komisi III DPR RI ini menuturkan, masyarakat harus waspada dan jangan terjerat logika yang dibangun pihak tertentu yang tidak terima warna bendera partainya tak lagi identik dengan pesawat kepresidenan yang lama.

Warna merah putih, kata Arteria, merupakan wujud simbol negara sesuai warna bendera nasional Indonesia.

“Mari berhati-hati dengan yang post power syndrome. Mungkin saja ini nanti jadinya post colour syndrome hanya karena tak bisa menerima bahwa warna pesawat kepresidenan tak lagi sama dengan warna bendera partainya,” kata Arteria.