Buku-buku Pro Demokrasi Ditarik dari Perpustakaan Umum Hong Kong

Internasional057 views

Inionline.id – Buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh pro-demokrasi Hong Kong ditarik dari perpustakaan umum setelah pemerintah China menerapkan undang-undang keamanan yang baru.

Para pejabat mengatakan buku-buku tersebut akan dievaluasi apakah isinya melanggar undang-undang.

Berdasarkan undang-undang baru, pemisahan diri, subversi dan terorisme bisa diancam hukuman penjara seumur hidup.

Para pengkritik mengatakan, undang-undang keamanan ini menggerus kebebasan di Hong Kong. Namun kritik ini ditolak oleh pemerintah pusat di Beijing.

Kedaulatan Hong Kong diserahkan kembali ke China oleh Inggris pada 1997 dan hak-hak tertentu seharusnya dijamin setidaknya 50 tahun berikutnya, di bawah kesepakatan “satu negara, dua sistem”.

Akan tetapi, sejak undang-undang itu mulai berlaku pada Selasa (30/06), sejumlah aktivis pro-demokrasi terkemuka telah mengundurkan diri dari peran mereka.

Salah satu dari mereka, Nathan Law – pemimpin mahasiswa dan sempat menjadi legislator lokal – telah meninggalkan wilayah tersebut.

Setidaknya sembilan buku kini ditarik dan ditandai sebagai “sedang ditinjau”, menurut surat kabar South China Morning Post.

Itu termasuk buku yang ditulis oleh Joshua Wong, seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka, dan politisi pro-demokrasi Tanya Chan.

Pada Sabtu (04/07), Wong mencuit lewat akun Twitternya bahwa undang-undang baru ini “memberlakukan rezim sensor gaya [China] daratan” di Hong Kong, menyebutnya sebagai “satu langkah lagu dari… pelarangan buku yang sebenarnya”.

Beijing menolak kritik terhadap undang-undang tersebut, dengan mengatakan perlunya menghentikan jenis protes massa pro-demokrasi yang terjadi di Hong Kong selama tahun 2019, yang kadang-kadang meledak menjadi bentrokan yang sangat keras antara pengunjuk rasa dan polisi.

Mereka juga menolak keluhan Inggris dan negara-negara Barat lainnya yang menganggap China telah melanggar jaminan yang dibuatnya untuk melindungi kebebasan unik Hong Kong.

China menyebutnya sebagai campur tangan dalam urusan internalnya.

Ketakutan dan ketidakpastian di mana-mana

Oleh Danny Vincent, BBC News, Hong Kong

Hong Kong dijanjikan kebebasan politik tertentu selama 50 tahun setelah penyerahan. Itu menjamin hak-hak seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan sistem peradilan yang independen.

Bagi banyak penduduk Hong Kong, undang-undang keamanan nasional merepresentasikan penghentian prematur dari kebebasan-kebebasan itu.

Pendukung undang-undang menyebut regulasi itu akan membantu memulihkan ketertiban setelah satu tahun gelombang demokrasi. Namun para kritikus mengatakan undang-undang itu digunakan untuk mengkriminalisasi oposisi.

Penghapusan buku-buku politik dari perpustakaan umum tidak pernah dibayangkan seminggu yang lalu. Di Hong Kong hari ini, pemilik bisnis menghapus pesan dukungan untuk gerakan protes dari tempat mereka, takut bahwa mereka dapat ditafsirkan sebagai upaya menghasut subversi.

Sejauh ini, sepuluh orang telah ditangkap karena diduga melanggar undang-undang baru. Tapi ketakutan dan ketidakpastian menyebar luas. Para pengunjuk rasa menyerukan demonstran untuk memegang plakat tanpa tulisan selama demonstrasi. Mereka khawatir kata-kata mereka bisa mengarah pada penjara seumur hidup.

Apa itu undang-undang keamanan?

Undang-undang itu mengatur beragam hal dan memberi Beijing kekuatan untuk mengubah kehidupan Hong Kong yang belum pernah ada sebelumnya.

Undang-undang itu mengkategorikan kebencian terhadap pemerintah pusat China dan pemerintah daerah Hong Kong sebagai pelanggaran.

Undang-undang itu juga memungkinkan persidangan tertutup, penyadapan tersangka dan kemungkinan tersangka akan diadili di daratan China.

Tindakan termasuk merusak fasilitas transportasi umum – yang sering terjadi selama demonstrasi 2019 lalu – dapat dianggap sebagai terorisme.

Ada juga kekhawatiran tentang kebebasan online karena penyedia internet mungkin harus menyerahkan data jika diminta oleh polisi.