Pilkada Secara Langsung Memiliki Sejumlah Kekurangan dan Kelebihan

JAKARTA, IniOnline.id – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung memiliki sejumlah kekurangan dan kelebihan. Salah satu kelebihan dari mekanisme Pilkada langsung yaitu membuat pemilih mengenal secara konkret calon kepala daerah yang bakal berlaga. Masyarakat pun bisa menikmati proses pemilihan dan mengetahui secara pasti visi misi dan program yang digembar-gemborkan calon kepala daerah.

“Kepala daerah yang terpilih tentu akan merepresentasikan aspirasi dari masyarakat di daerah tersebut,” kata Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dr. Bahtiar, M.Si kepada wartawan, Senin (19/3/2018), di Jakarta.

Bahtiar melanjutkan, Pilkada langsung juga menjadikan suara pemilih sangat berharga. Pasalnya, kepentingan rakyat atau pemilih bakal menjadi fokus perhatian terbesar bagi calon kepala daerah. Kelebihan lainnya, kata Bahtiar, terdapat legitimasi yang kuat terhadap kepala daerah terpilih.

“Kepala daerah terpilih juga akan memperoleh dukungan luas dari masyarakat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah daerah akan kuat dengan legitimasinya karena tidak mudah diguncang oleh DPRD,” kata Bahtiar.

Menurut Bahtiar, pelaksanaan Pilkada langsung bisa menjadi alat ukur partisipasi, pemahaman, serta pentingnya politik bagi masyarakat. Selain itu, pemberdayagunaan sumber daya (resources) yang dimiliki calon kepala daerah bakal menjadi efektif. Pasalnya, keberadaan pihak ketiga akan tereliminir karena calon kepala daerah langsung melakukan komunikasi dengan masyarakat pemilih.

Tak hanya itu, dalam Pilkada langsung, ketokohan seorang calon juga akan jadi daya tarik tersendiri bagi calon pemilih ketimbang sepak terjang partai pengusungnya.

“Artinya besar kecil parpol yang mengusungnya pada pelaksanaan pemilihan tidak berkorelasi kuat terhadap keberhasilan atau keterpilihan calon kepala daerah,” kata Bahtiar.

Meski begitu, pemilihan langsung rupanya menyisakan beberapa persoalan. Salah satunya, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis seakan menafikan nilai-nilai Pancasila. Para calon kepala daerah juga harus memiliki modal dana yang cukup besar karena diharuskan berkampanye secara fisik (door to door) dan rawan disusupi kepentingan pemodal.

Kelemahan lainnya, calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah. Potensial terjadinya konflik horizontal maupun vertikal antarbasis pendukung calon. Terlebih, apabila pemahaman politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang.

Selain itu, kerap terjadinya penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik itu anggaran bantuan sosial (bansos) ataupun pos anggaran lain oleh petahana untuk kepentingan pribadi karena maju kembali bertarung dalam Pilkada.

“Dan, tak jarang daerah abai dalam mempersiapkan kebutuhan anggaran Pilkada sehingga membuat daerah kebingungan saat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan Pilkada,” ujar Bahtiar. (kemendagri/na)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *