Pilkada Dan Lari Maraton

Tidak ada kaitan langsung antara pilkada dan lari maraton. Pilkada urusan politik dan lari maraton adalah olahraga. Masing-masing punya regulasi dan aturan. Namun demikian, ada substansi strategi memiliki relatif kesamaan.

Pilkada dan Lari Maraton sama-sama menempuh “track” yang panjang. Lari Maraton berbeda dengan Lari Jarak Pendek. Dimana lari jarak pendek pelari langsung “tancap gas” untuk menjadi yang tercepat mencapai garis finis. Sangat berbeda dengan Lari Maraton, pelari harus menjaga dan mengatur stamina dan nafas agar tidak kedodoran di tengah jalan.

Pelari yang unggul diawal dan atau pertengahan tanding belum tentu menjadi pemenang kalau diakhir gagal mencapai finis lebih awal. Penyebabnya bisa saja kehabisan nafas atau tenaga. Begitu pun sebaliknya, pelari yang terlihat santai, hanya menjaga jarak, tidak bernafsu untuk menjadi pemenang di awal dan atau pertengahan, bisa saja menjadi pemenang karena menyimpan stamina dan tenaga diakhir untuk mengejar garis finis lebih cepat.

Nah begitu pun dalam konteks Pilkada 2018 khususnya di Pemilihan Gubernur Sumsel. Waktunya panjang. Harus kerja politik 3-4 bulan, setidaknya dihitung paska penetapan calon oleh penyelenggara.

Calon yang dianggap unggul saat ini, belum tentu menjadi pemenang. Sebab itu hanya menggambarkan kondisi saat survei dilakukan.

Sama saja, calon itu sedang unggul diawal dan pertengahan “lomba”, belum menjadi pemenang definitif atau sah. Ingat masih ada calon lain yang “membuntuti” untuk Melakukan “Over taking” saat akhir lomba.

Menyimpulkan akan menjadi pemenang dalam pilkada berdasarkan survei saat ini adalah keliru. Lebih tepat, itu baru potensi menang. sebagaimana ilustrasi pelari maraton di atas tadi.

Sebagai metode ilmiah, survei harus diakui – setidaknya sampai saat ini – menjadi alat ukur satu-satunya electoral dalam pemilu. Sebagai sebuah metode, survei “sangat mungkin” ada kesalahan, yang terpenting “tidak bohong”.

Pontensi ruang kesalahan dalam survei tentu banyak. Dimulai dari menentukan metode, variabel, acak sampling, wawancara, input data, pengolahan data, sampai analisis statistik, dan penyajian data temuan.

Ibarat kita belia makanan, kita tinggal makan saja. Sebab pengolahan makanan dilakukan di dapur. Kita tidak tahu bagaimana itu dimasak dan apa saja bumbu dan bahannya. Yang kita tahu enak atau tidak, mahal atau murah, itu saja.

Begitupun dengan survei. Semua proses survei dari awal sampai laporan disajikan dilakukan di “dapur” dan oleh lembaga survei. Jadi hati-hati lah membaca survei dari lembaga yang Anda sendiri tidak yakin dan bahkan tidak tahu kualitas dan kredibilitas personal pengelola lembaga surveinya.

Begitu pun dalam konteks Pilkada Sumsel 2018. Calon yang dianggap akan menang berdasarkan survei saat ini, belum tentu menjadi pemenang dalam diakhir pilkada nanti.

Sederhana saja alasannya, yaitu calon lain sedang bekerja juga, sedang mengatur stamina dan tenaga agar bisa melakukan “over taking” saat menjelang akhir pilkada nanti. Selain itu, hasil survei yang menjadi dasar pembentukan opini itu, kita tidak tahu juga kualitas dan kredibilitas lembaga surveinya. Ada kesalahan kah dalam surveinya, atau ada kebohongan kah dalam surveinya ?. Masyarkat bahan klien yang membayarnya saja, tidak bisa melakukan quality control terhadap survei.

Sekali lagi survei bisa saja salah, asal jangan bohong”. Sayangnya kesalahan dalam survei bisa fatal terhadap data yang dihasilkan apalagi bohong.

Semoga kita terlindung dari kesalahan dan kebohongan.

Bahkan ada satu hal yang jarang bahkan cenderung ditutupi oleh lembaga survei dalam laporannya yaitu terkait dengan tentang response rate.

Response rate adalah data terkait jumlah sampel awal random yang berhasil diwawancarai. Kenapa demikian karena faktanya dari ribuan pengalaman suvei jarang sekali mencapai response rate 100 persen. Berapa responden awal yang berhasil diwawancarai dan berapa persen responden pengganti ?

Banyak alasan kenapa responden yang sudah ditentukan tidak bisa diwawancarai. Biasanya alasan menolak di wawancarai atau tidak ada dirumah saat didatangi. Kondisi seperti ini biasanya surveyor lapangan mengambil sampel pengganti. Inilah yang sering menjadi pemicu eror dalam survei. Meskipun diganti yang mendekati demografi sampel awal.

Begitulah rumit dan ketatnya medote Ilmiah. Jangan mudah percaya dan menyimpulkan pada metode dan data yang mungkin banyak penyimpangan atau sengaja disimpangkan hanya karena alasan opini dan politik.

Oleh: El-Hary (Pengamat Politik Daerah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *