Jakarta – inionline.id – Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abd Rahman Mas’ud mengatakan bahwa indeks kerukunan umat beragama (KUB) tahun 2016 adalah 75,47%. Hasil survei nasional ini naik 0,12 poin jika dibandingkan dengan indeks KUB tahun 2015 sekaligus menunjukan tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia cukup tinggi.
Hal ini disampaikan Abd. Rahman Mas’ud saat mengisi Pengajian Bulanan Muhammadiyah di Menteng Raya 62 Jakarta yang mengangkat tema ‘Merawat Kerukunan Kehidupan Beragama’.
Menurut Masud, survei ini mengukur tiga indikator utama, yaitu: toleransi, kesetaraan, dan kerjasama. Selain itu, hasil survei juga menemukan hubungan positif antara keterlibatan tokoh agama dan organisasi keagamaan dengan kerukunan umat beragama.
“Kepercayaan umat beragama terhadap tokoh agama memiliki indeks yang tinggi sebesar 68,65%. Kepercayaan umat beragama terhadap orang dari suku berbeda 73,71%. Sedangkan kepercayaan umat beragama terhadap penganut agama lain sebesar 77,09%,” ujar Masud, Jumat (06/01).
Survei ini juga memotret bahwa indeks kerukunan responden yang aktif dalam organisasi sosial maupun keagamaan lebih tinggi dibanding yang tidak terlibat aktif.
Mas’ud menilai, Indonesia patut bersyukur karena memiliki ormas Islam berpaham moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Menurutnya, negara Islam sekalipun belum tentu mempunyai ormas Islam yang sangat mengakar dan dapat menyemai nilai Islam moderat dan santun.
“NU dan Muhammadiyah telah membuktikan pengamalan Islam yang penuh kedamaian, Islam yang ramah, Islam yang senyum (smiling Islam),”katanya.
Selain indeks kerukunan, hasil kajian Balitbang Diklat Kemenag menyebutkan bahwa penyebabketidakrukunan umat beragama dipengaruhi oleh faktor non agama dan faktor agama. Faktor non agama di antaranya karena adanya kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, dan konflik sosial dan budaya.
Sedangkan faktor agama misalnya terkait polemic izin pendirian rumah ibadat, metode penyiaran agama, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Faktor agama lainnya yang ikut mempengaruhi adalah penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, serta pengamalan agama yang tektualis.
“Masyakat Indonesia beruntung, karena mempunyai faktor yang merukunkan. Salah satunya adalah kearifan local (local wisdom) yang hampir ada di berbagai daerah dan suku di Indonesia,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof Azyumardi Azra melihat, sejak 20 tahun terakhir, ketidakrukunan di Indonesia terjadi lebih banyak karena faktor luar dan faktor non agama. Senada dengan Prof Abdurahman, Azra juga menilai Islam Indonesia adalah Islam yang lebih ramah, rileks, dan semua itu bukan berarti kurang Islami. (Aldi/Kemenag)