PB PII Sebut Kebijakan Pendidikan Mendapat Rapor Merah Setelah Mengevaluasi 2 Tahun Jokowi-Ma’ruf

Berita157 views

Inionline.id – Tepat 2 tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin, mendapat banyak evaluasi dari berbagai pihak. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) menggelar Webinar Konsolidasi Nasional; Membaca Potret Pendidikan Indonesia, Rabu (20/10).

Dalam forum nasional tersebut, hadir Darmaningtyas dan Indra Charismiadji selaku pengamat pendidikan, Satriawan Salim sebagai Ketua Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), juga hadir Nasrullah Larada selaku Ketua Pengurus Pusat Keluarga Besar PII, serta dikelompok aktivis, hadir langsung Rafani Tuahuns Ketua Umum PB PII, Jefri Gultom Ketua Umum PP GMKI dan Afandi Ismail Ketua Umum PB HMI.

Rafani Tuahuns, dalam pandangannya menyampaikan bahwa kondisi pendidikan Indonesia hari ini semakin memprihatinkan. Menurutnya sebelum pandemi menyerangpun pendidikan kita sudah terjadi ketimpangan, apalagi dihantam badai pandemi, kondisi kesenjangan pendidikan semakin lebar.

“sebelum pandemi saja kita sudah melihat berbagai ketimpangan pendidikan antara yang di kota dan desa, antara yang kaya dan yang kurang mampu. Kebijakan Pemebalajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak diikuti dengan pemenuhan infrastruktur digital, pada akhirnya Sebagian kelompok pelajar tidak merasakan proses belajar yang efektif, setahun lebih terakhir kita melihat kondisi yang sangat miris, loss learning bisa mengarah pada loss generation ” ungkap Alumni Universitas Tadulako ini.

Masih dalam penyampainnya, Rafani juga menyampaikan berbagai data realitas pendidikan hari ini yang berada di ambang mengkhawatirkan, angka partisipasi sekolah yang menurun dan angka putus sekolah yang memprihatinkan.

Putra asal Sulawesi Tengah ini juga mengungkapkan hasil survei United Nation Internasional Children’s Emergency Fund (Unicef), bahwa selama pandemic di Indonesia, sebanyak 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah, dengan 74 persen disebabkan tidak ada biaya.

“Bagaimana mungkin bisa membeli smartphone dan kuota untuk belajar online, untuk makan keluarga saja sudah harus berjibaku orang tua siswa. Memprihatinkan bukan? Belum lagi masih ada 11 persen wilayah di Indonesia yang belum terakses jaringan seluler, bagaimana bisa semua anak negeri merasakan proses belajar berbasis digital ini?” terangnya. “Kondisi darurat pendidikan ini, sebab kebijakan menteri yang salah urus, ini rapor merah bagi Mas Menteri,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Satriawan Salim, menurutnya banyak kebijakan yang tidak tepat sasaran sehingga kondisi pendidikan Indonesia seperti saat ini. “Ditengah pandemi, harusnya ada grand diseain pendidikan. Ini karena tidak ada grand desainnya, tidak ada kebijakan untuk itu, maka kondisinya memprihatinkan seperti hari ini,” pungkasnya.

Satriawan Salim juga menyoroti Kebijakan Mendikbud yang belum pro terhadap guru honorer. Dengan kekurangan guru 1.3 Juta guru, menurutnya seharusnya guru-guru honorer mendapat perhatian serius. “Kebijakan anggaran yang tidak pro terhadap guru honorer, gaji guru honorer di daerah-daerah masih ada kita jumpai perbulan menerima kurang dari satu juta rupiah. Ini tidak sebanding,” tegasnya. Ia juga mendorong pemerintah dengan kebijakan anggarannya untuk menhadirkan upah layak minimum honorer.

Dua pimpinan OKP lainnya juga memperkuat argumentasi Mendikbud layak mendapatikan evaluasi serius. Jefri Gultom Ketua Umum PP GMKI dan Afandi Ismail Ketua Umum PB HMI, keduanya senada menyampaikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mendikbud salah arah. “Harusnya yang jadi meneteri pendidikan adalah orang yang lebih mengerti pendidikan,” ujar Afandi Ismail akhir sesi webinar.

Webinar Konsolidasi Nasional yang berlangsung kurang lebih tiga jam tersebut dihadiri ratusan partisipan dari berbagai provinsi. Closing statement disampailkan Damaningtyas selaku tokoh senior pengamat pendidikan, mengamini narasi evaluasi terhadap kebijakan pendidikan yang banyak tidak tepat sasaran.

Meskipun demikian diakhir penuturannya ia menyampaikan bahwa meskipun masyarakat memberikan kritik terhadap pemerintah, tapi pemerintah tidak mendengarkan itu sama saja, maka yang terepenting menurutnya kelompok aktifis harus tetap menjaga daya kritisnya.

Sumber: beritafakta.id