Terkait Kampanye Suhartoyo Minta DPR Sempurnakan UU Pemilu & Pilkada

Berita657 views

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menyentil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyempurnakan aturan mengenai kampanye.

Hal itu disampaikan dalam pertimbangan mahkamah yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo saat sidang pembacaan putusan perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Senin (22/4).

Mulanya, Suhartoyo membacakan bahwa MK telah mencermati dalil-dalil Pemohon, keterangan Bawaslu, alat bukti surat/tulisan dan bukti lainnya serta keterangan ahli maupun saksi yang diajukan para pihak dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.

Adapun menurut MK, terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan pemilihan umum, dalam hal ini UU Pemilu, PKPU, maupun Peraturan Bawaslu, sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu.

Suhartoyo mengatakan UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.

Padahal, kata dia, Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.

“Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye. Ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi,” ujar Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan PHPU Pilpres 2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Gedung MK RI, Jakarta, Senin.

Suhartoyo pun meminta pemerintah dan DPR untuk menyempurnakan UU Pemilu dan UU Pilkada untuk pemilu di kemudian hari.

“Dengan demikian, demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemihan umum maupun pemilihan kepala daerah selanjunya, menurut Mahkamah, ke depan Pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu,” tegas Suhartoyo.

“Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang,” sambungnya.

Lebih lanjut, MK juga menyoroti pentingnya netralitas aparat negara, khususnya pejabat negara dalam penyelenggaraan pemilu.

Menurut MK, pemerintah dan DPR perlu membuat aturan yang lebih jelas bagi pejabat negara yang merangkap sebagai anggota partai politik ataupun sebagai tim kampanye dalam melaksanakan kampanye, yakni pelaksanaan kampanye harus dilaksanakan terpisah, tidak dalam satu waktu kegiatan ataupun berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara.

Hal itu dilakukan dalam upaya menjaga netralitas aparat negara, khususnya bagi pejabat negara yang juga merangkap sebagai anggota partai politik, calon presiden dan wakil presiden, anggota tim kampanye maupun pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 299 UU Pemilu.

“Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara menjadi terbuka lebar,” jelas Suhartoyo.

“Hal mana tergambarkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto yang melakukan pembagian sembako dan juga setelah itu menghadiri kampanye Partai Golkar sebagai Ketua Umum dan kegiatan yang dilakukan Menteri Perdagangan dalam kegiatan APPSI di Semarang sebagaimana terdapat dalam Sub-paragraf [3.17.2] dan Sub-paragraf [3.17.7] di atas,” sambung Suhartoyo.

Minta Bawaslu buat SOP

Selain itu, MK juga meminta Bawaslu untuk membuat standar operasional dan prosedur (SOP) terkait dugaan pelanggaran pemilu.

“Bahwa dalam menarik kesimpulan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu terhadap suatu peristiwa, Bawaslu perlu menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut, maupun pisau analisis yang baku dan memperhatikan berbagai aspek yang menjadi unsur adanya suatu pelanggaran pemilu baik yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah masa kampanye,” kata Suhartoyo.

Suhartoyo menjelaskan hal tersebut agar diperoleh hasil kesimpulan yang memiliki pijakan yang kuat dan komprehensif atas suatu peristiwa yang diduga terdapat pelangaran pemilu meskipun hasil kesimpulan tersebut dilakukan oleh anggota Bawaslu yang berbeda-beda.

Lebih lanjut, MK juga memandang bahwa netralitas aparat adalah aspek penting dari prinsip demokrasi yang melindungi kebebasan politik dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.

Suhartoyo mengatakan tanpa netralitas, demokrasi dapat terancam oleh otoritarianisme. Dalam konteks itu, kata dia, maka netralitas aparat dalam pemilu tidak hanya merupakan prinsip etis yang mendasar, tetapi juga krusial untuk menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik suatu negara.

“Oleh karena itu, dalam rangka penataan ke depan, kesadaran dan pemahaman tentang penataan demokrasi, in casu penyelenggaraan pemilu perlu senantiasa mempertimbangkan tidak hanya aspek regulasi tapi juga aspek etik para pemegang jabatan publik. Dengan demikian, diharapkan dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi ketidaknetralan aparatur negara dalam penyelenggaraan pemilu sekaligus memastikan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” ujar Suhartoyo.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Suhartoyo mengatakan dalil-dalil pemohon berkenaan dengan mobilisasi atau netralitas pejabat atau aparatur negara adalah tidak beralasan menurut hukum.