Konten Digital Bakal Diawasi KPI di Revisi UU Penyiaran

Berita357 views

Inionline.id – Revisi Undang-Undang Penyiaran dinilai akan meluaskan cakupan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga larangan berlebihan atas konten digital.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief dalam dalam konferensi pers di Sekretariat AJI Indonesia, Jakarta, Rabu (24/4). Yovantra menilai terdapat sejumlah poin utama pada revisi UU Penyiaran, salah satunya cakupan KPI.

Yovantra menuturkan terdapat dua istilah dalam revisi UU Penyiaran ini, yakni lembaga penyiaran dan platform penyiaran digital. Menurut Yovantra, lembaga penyiaran itu meliputi TV swasta, TV berbayar, hingga TV komunitas.

Sedangkan platform penyiaran digital merupakan kategori baru lantaran KPI ingin masuk ke ranah digital.

“Ada tiga konsekuensi dari perubahan besar itu. Pertama, berarti karena undang-undangnya masuk ke wilayah digital, maka regulatornya, Komisi Penyiaran Indonesia, itu juga akan masuk ke wilayah digital.

Kedua, ada beberapa larangan yang berlebihan atas konten digital karena logikanya mirip. Ketiga, akan ada poin di mana karena ada perubahan ini itu akan mengancam ke kebebasan pers,” ujar Yovantra.

Ia menjelaskan Pasal 1 ayat (9) draf revisi UU Penyiaran mengatur bahwa “KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran yang ada di pusat dan di daerah, bertugas mengatur dan mengawasi isi siaran dan konten siaran”.

Isi siaran dijelaskan sebagai siaran yang diproduksi oleh lembaga penyiaran. Sementara itu, konten siaran adalah materi siaran digital yang diproduksi oleh penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau penyelenggara platform teknologi penyiaran lainnya.

Platform digital penyiaran dalam draf revisi UU ini adalah sarana informasi telekomunikasi yang memfasilitasi interaksi secara langsung pemberi dan penerima informasi, atau penyedia dan pengguna layanan penyiaran untuk saling bertukar atau memperoleh informasi.

Adapun penyelenggara platform digital penyiaran didefinisikan sebagai pelaku usaha yang terdiri atas perseorangan atau lembaga yang menyelenggarakan konten siaran melalui platform digital penyiaran.

“Yang membingungkan ada platform digital penyiaran. Platform digital penyiaran itu sarana informasinya. Jadi kalau sebut merek, Netflix, VIU itu adalah sarananya,” kata Yovantra.

Mulanya, Yovantra berpandangan bahwa ranah digital yang diatur revisi UU Penyiaran ini hanya sejenis TV berbayar seperti Netflix, dkk. Kendati demikian, Yovantra lalu menemukan sejumlah titik yang dinilai agar kabur soal ruang lingkup penyelenggaraan platform digital penyiaran.

Sebagai contoh, Pasal 94 berbunyi “Ruang lingkup penyelenggaraan Platform Digital Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar”.

“Jadi definisi ini sangat luas sekali. Kalau misalnya ditarik berarti sejauh di digital itu ada layanannya suara dan suara-gambar itu wilayahnya undang-undang ini. Ada beberapa kekaburan, apakah dia OTT seperti Netflix, HOOQ, yang modelnya seperti TV berbayar atau dia juga meliputi user generated content seperti Youtube, TikTok, itu kan audio visual juga. Apakah itu masuk ke dalam ruang ini? Itu masih belum begitu clear,” ucap Yovantra.

“Karena formulasi di dalam undang-undangnya ada memungkinkan keduanya masuk, OTT maupun user generated content,” sambung dia.

Sanksi untuk penyiaran digital sama dengan TV konvensional

Yovantra mengatakan konsekuensi yang timbul adalah penyiaran digital memiliki regulasi atau ketentuan yang sama dengan TV konvensional.

“Jadi aturan-aturan penyiaran digital dan konvensional itu sama. Padahal sebenarnya secara tekonologi berbeda kan,” kata Yovantra.

Pasal 59 ayat (2) mengatur bahwa KPI mengawasi pelaksanaan standar isi siaran (SIS) di lembaga penyiaran dan/atau penyelenggara platform digital penyiaran. Adapun pada Pasal 60 tercantum deretan sanksi administratif oleh KPI jika ada pelanggaran atas SIS.

“Misalnya di Pasal 60, ini mekanisme sanksi yang diberikan oleh KPI itu sama untuk digital maupun konvensional. Pasal 116 juga seperti itu,” tambah dia.

Larangan berlebihan hingga pasal karet

Selain itu, Yovantra menilai revisi UU Penyiaran ini mengandung larangan-larangan yang berlebihan atas konten digital.

Larangan-larangan yang tertuang dalma Pasal 56 ayat (2) draf revisi UU ini di antaranya, tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, aksi kekerasan, mengandung unsur mistik, hingga perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.

Beberapa jenis tayangan yang dilarang ini turut dinilai multiinterpretasi, sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.

“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional,” kata Yovantra.

Yovantra mengakui adanya sejumlah larangan yang progresif pada draf revisi UU Penyiaran ini. Contohnya pada Pasal 56 ayat (2) huruf j yang berbunyi “menyampaikan isi siaran dan konten siaran yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran”

Namun, dia menyebut ada pula larangan yang dinilai sebagai pasal karet.

“Tapi di banyak pasal lain itu karet,” jelas Yovantra.

Yovantra menyebut Pasal 56 ayat (2) huruf d yang melarang “penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat,” sebagai contoh. Adapun menurut dia, bunyi larangan itu dapat diartikan macam-macam.

Yovantra menilai sejumlah larangan tersebut tersebut dapat menjadi hambatan untuk kreativitas konten.

“Ini akan menjadi hambatan atas kreativitas dan konten kalau misalnya ini diterapkan juga di user generated content. Berarti akan banyak aturan yang membatasi dan enggak sesuai dengan logika teknologinya,” imbuh dia.