Di Sidang PBB, Pemerintah Dinilai Kontradiktif Soal Kondisi HAM RI

Berita957 views

Inionline.id – Sejumlah koalisi masyarakat sipil menilai pemerintah Indonesia melalui delegasinya memberikan keterangan kontradiktif terkait kondisi HAM Indonesia pada Sidang Komite HAM PBB di Jenewa Swiss, Selasa (12/3) lalu.

Mereka yakni KontraS, YLBHI AJAR, Amnesty International Indonesia (AII), Transmen Indonesia, HRWG, FORUM-ASIA, dan KontraS Aceh.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya misalnya menilai delegasi Indonesia tidak memberikan keterangan seutuhnya terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan kasus Munir hingga kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

“Pemerintah Indonesia lagi-lagi dalam setiap forum internasional mencitrakan bahwa seolah-olah sudah ada kepatuhan terhadap norma pemenuhan penegakan perlindungan HAM, terutama dalam konteks ini hak sipil politik,” kata Dimas dalam acara daring, Senin (18/3).

Dalam kasus Munir yang dipertanyakan oleh Komite HAM PBB, pemerintah Indonesia menurutnya mengklaim bahwa koordinasi masih berjalan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung sesuai Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2003.

Padahal menurut Dimas, pemerintah seharusnya mengacu pada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mendorong Kejaksaan Agung dalam penyidikan dan penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

“Saat itu Dewan Komite ICCPR menanyakan secara kritis bahwa apakah sudah ada progres penyelesaian kasus secara komplementer atau secara komprehensif berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu,” kata dia.

Kemudian selanjutnya dalam kasus Fatia-Haris atas kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan, Komite HAM PBB menurutnya mengangkat kasus tersebut sebagai salah satu bentuk dari kriminalisasi terhadap pembela HAM yang terjerat UU ITE.

Pemerintah Indonesia menurut Dimas justru mengklaim bahwa kasus tersebut sudah tuntas karena Fatia-Haris sudah dinyatakan bebas dari dakwaan. Namun faktanya, Fatia-Haris masih berada di proses kasasi.

“Jadi kami menyoroti fakta-fakta yang memang disampaikan secara kontra naratif atau bertolak belakang dari realitas dan implementasi yang seharusnya bisa menjadi evaluasi,” ujar Dimas.

Senada, AII berpandangan pemerintah Indonesia memberikan respons yang tidak memadai bahkan cenderung mengerdilkan fakta-fakta akan kondisi HAM di Indonesia dalam forum tersebut.

“Pertanyaan yang cukup kritis yang diberikan komite kepada delegasi Indonesia, dan beberapa jawaban dari anggota delegasi Indonesia justru membuat kami menggaruk-garuk kepala dan sedikit kecewa,” kata Deputi Direktur AII Wirya Adiweda.

Wirya menyebut apa yang disampaikan tidak sesuai fakta situasi HAM di Indonesia dan jawaban yang disampaikan delegasi Indonesia hanya itu-itu saja atau dengan kata lain tidak ada perubahan,

Dalam konteks pelanggaran HAM berat masa lalu, kata dia, satu hal yang muncul dalam review tahun 2013 oleh Komite HAM PBB adalah adanya deadlock antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM terkait pengusutan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Terkait pembunuhan di luar hukum, penyiksaan maupun perlakuan tidak manusiawi lainnya, pemerintah Indonesia mengklaim memiliki kebijakan yang tidak mentolerir impunitas.

Para delegasi Indonesia menurutnya berdalih bahwa jumlah kasus pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan relatif lebih sedikit ketimbang yang dilakukan kelompok sipil bersenjata.

Di sisi lain, AII mencatat dari Januari 2018 hingga Mei 2023, ada sekitar 65 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 106 korban.

“Itu bukanlah jawaban yang layak disampaikan oleh negara, yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya,” kata dia.

Kemudian terkait situasi di Papua, delegasi Indonesia menyebutkan bahwa pengungsi internal di Papua hanya terjadi akibat tiga hal.

Pertama, bencana alam yaitu kekeringan. Kedua, akibat konflik horizontal, dan ketiga akibat kekerasan kelompok kriminal bersenjata, tanpa menyebutkan akibat dari keberadaan pasukan keamanan besar-besaran.

“Hal-hal seperti ini membuat kami bertanya-tanya dan merasakan kurangnya komitmen negara terhadap masalah yang disampaikan anggota Komite HAM PBB. Jawaban yang selalu sama menunjukkan masalah HAM di Indonesia tidak pernah diselesaikan dengan tuntas,” ujar Wirya.