Usai Viral Tornado Rancaekek, Pakar BRIN Buka Suara

Iptek957 views

Inionline.id – Pakar klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin buka suara usai viral menyatakan cuaca ekstrem  di Rancaekek, Jatinangor, jawa Barat, sebagai ‘tornado’ pertama di Indonesia.

Erma merupakan salah satu pakar yang menyebut kejadian puting beliung pada Rabu (21/2) sebagai tornado. Istilah tersebut kemudian dibantah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan menyebut bahwa peristiwa tersebut lebih cocok menggunakan istilah puting beliung ketimbang tornado.

Erma masih bertahan dengan sikap awalnya dan menyebut bahwa kejadian tersebut merupakan tornado berskala kecil.

“Meteorologi adalah ilmu tentang skala. Puting beliung atau disebut small tornado ada pada skala mikro 0-2 km. Tornado ada pada skala meso lebih dari 2 km (>2-2000 km). Itu mengapa sangat sulit memprediksi puting beliung karena skalanya mikro. Sulit juga terdeteksi dari satelit,” kata Erma dalam cuitannya di X (sebelumnya Twitter), Jumat (23/2).

“Namun jika skalanya meso (tornado), maka fenomena tersebut dapat terdeteksi dari satelit. Untuk mengkonfirmasi kecepatan angin maksimum kasus Rancaekek harus diletakkan alat ukur di area terdekatnya. Apakah ada AWS di Rancaekek yg bisa menunjukkan data persis kecepatannya?” lanjut dia.

Erma menambahkan pada tahun 2009, ia bersama peneliti lainnya di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pernah melakukan kajian mengenai puting beliung dan menerbitkan artikel ilmiah berjudul “Puting Beliung, Small Tornado yang Sulit Diprediksi”.

Menurutnya, kecuali jika skala mikro berubah menjadi meso, maka fenomena tersebut dapat lebih mudah diprediksi.

“Dari skala dampak kerusakan, kasus Rancaekek lebih luas dan lebih parah dibandingkan dengan Cimenyan (28 Maret 2021) yg udah kami kaji sebelumnya. Oleh karena itu, kami akan rekonstruksi, karena utk pertama kalinya, fenomena small tornado dapat dideteksi dari satelit,” cuit dia.

Sebelumnya, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengungkap bencana di sekitar Rancaekek itu sebagai “fenomena cuaca ekstrem puting beliung.”

Sebagai bukti, BMKG menyebut dampak angin kencang yang melanda hingga sekitar wilayah Jatinagor, Sumedang, terukur pada saat jam kejadian mencapai 36,8 km per jam.

Berdasarkan Skala Fujita, tornado paling lemah (angin topan/puting beliung/tornado gale) atau F0 memiliki kecepatan angin 64-116 km per jam.

Sementara, Skala Fujita yang Ditingkatkan (Enhanced Fujita Scale), tornado terlemah (F0) punya kecepatan angin 105-137 km per jam.

Guswanto mengakui pada dasarnya fenomena tornado dan puting beliung punya kemiripan.

“Puting beliung secara visual merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai dan biasanya dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian.”

“Secara esensial fenomena puting beliung dan tornado memang merujuk pada fenomena alam yang memiliki beberapa kemiripan visual yaitu pusaran angin yang kuat, berbahaya dan berpotensi merusak,” jelasnya.

Istilah tornado, kata dia, biasa dipakai di wilayah Amerika. Ketika intensitasnya meningkat lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km per jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer, kerusakan yang luar biasa bisa ditimbulkan.