Soal Putusan Kepala Daerah Boleh Jadi Capres-Cawapres, Ini Penjelasan MK

Berita957 views

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan mahasiswa asal Solo, Almas Tsaqibbirru Re A, yang mengaku sebagai pengidola Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka terkait usia minimal peserta pilpres pada 16 Oktober lalu.

Berkat putusan itu, Gibran yang juga putra sulung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berpotensi melenggang ke Pilpres 2024. Sebagai informasi, Gibran adalah kelahiran 1 Oktober 1987 sehingga dengan demikian ia baru berusia 36 saat ini. Terkini, Gibran telah dideklarasikan Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi bakal cawapres yang akan mendampingi capres Prabowo Subianto pada Minggu (22/10) malam.

Putusan MK untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu ramai mendapat kritik dari sejumlah pihak, termasuk para pakar hukum tata negara. Salah satunya adalah terkait kewenangan MK mengadili persoalan yang merupakan hak pembuat undang-undang (open legal policy) dan konflik kepentingan yang diduga terkait Ketua MK Anwar Usman.

Anwar diketahui adalah adik ipar dari Presiden Jokowi atau paman dari Gibran.

Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu pun tak bulat disepakati sembilan hakim konstitusi. Ada empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua alasan berbeda (concurring opinion).

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan para hakim konstitusi mengambil putusan berdasarkan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Dia menerangkan berdasarkan UU itu, setiap putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi atau Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dipimpin ketua sidang. Jika putusan belum diperoleh, musyawarah ditunda hingga musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.

Lalu, apabila musyawarah sidang pleno tidak kunjung mencapai mufakat bulat, putusan MK diambil dengan suara terbanyak.

Jika suara putusan tetap tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Lebih spesifik, Fajar menjelaskan terkait Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan syarat usia capres-cawapres menjadi “berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Fajar mengungkap putusan itu diambil dengan suara terbanyak di antara hakim konstitusi. Dia mengatakan suara terbanyak itu sering kali dibaca sebagai setengah suara jumlah total hakim ditambah satu atau 5 dibanding 4.

Menurutnya, hal itu bisa terjadi ketika pilihan varian amar hakim itu hanya dua, misalnya mengabulkan dan menolak. Hal itu dapat memungkinkan posisi hakim 5-4. Kendati demikian, kata Fajar, varian amar putusan MK itu ada banyak.

Namun, sambungnya, pada putusan 90/PUU-XXI/2023 suara terbanyak mengabulkannya ada tiga hakim dengan komposisi: 3 mengabulkan, 2 mengabulkan tapi punya alasan berbeda, empat varian dissenting opinion.

“Contohnya di putusan 90 kemarin. 3 mengabulkan, 2 concurring. Kemudian yang dissenting itu ada tiga variannya. 2 menolak, 1 NO [tidak] karena pemohon tidak punya legal standing, dan Prof Arief [Arief Hidayat] itu NO tapi menyatakan permohonan ini gugur,” ujar Fajar kepada CNNIndonesia.com, tengah pekan lalu, Rabu (18/10).

“Ini artinya, dari sini, yang menolak itu sebetulnya 2, yang punya pendapat menolak di antara 4 dissenting itu,” imbuhnya.

Fajar mengatakan pada akhirnya komposisi tiga hakim konstitusi yang mengabulkan putusan tersebut telah menjadi suara terbanyak di antara para hakim konstitusi.

“Nah, sebetulnya kalau dalam konteks perkara kemarin itu, yang mengabulkan Pak Ketua (Ketua MK Anwar Usman), Pak Manahan [Manahan Sitompul], Pak Guntur [Guntur Hamzah], itulah sebenarnya suara terbanyak. Itu baru 3. itu sudah suara terbanyak sebetulnya. Dibandingkan yang 2 menolak,” jelas dia yang juga dikenal sebagai Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan (HAK) MK tersebut.

Sebelumnya diberitakan, Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan Almas Tsaqibbirru Re A dikabulkan sebagian oleh MK. Pemohon meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Anwar saat membaca amar putusan pada sidang pengucapan putusan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10).

“Menyatakan pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”,” terang Anwar.

Anwar juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ketua MK Anwar Usman, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengabulkan amar tersebut. Adapun Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengabulkan, tapi memiliki alasan berbeda (conccuring opinion) atas putusan tersebut.

Adapun empat hakim yang berpendapat berbeda atas putusan tersebut (dissenting opinion) adalah Wakil Ketua MK Saldi Isra, hakim konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Rincian pendapat para hakim konstitusi dalam putusan

Adapun rincian sederhana komposisi pendapat hakim konstitusi atas permohonan perkara 90/PUU-XXI/2023 itu adalah sebagai berikut:

Tiga hakim konstitusi yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah,  dan Manahan Sitompul setuju semua kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun

Dua hakim konstitusi yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel YP Foekh setuju kepala daerah dapat menjadi capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun, namun hanya untuk tingkat  gubernur atau pemimpin provinsi. Dalam concurring opinion-nya yang dibacakan saat sidang terbuka, Enny mengatakan parameter atau syarat gubernur yang bisa jadi capres-cawapres meski belum usia 40 itu merupakan open legal policy atau hak pembuat undang-undang.

“Tetap merupakan ranah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya,” kata Enny pada pendapatnya yang juga tertuang dalam naskah putusan.

Hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyatakan MK seharusnya menolak permohonan tersebut seluruhnya, karena masuk dalam ranah open legal policy atau kewenangan pembuat undang-undang.

Hakim konstitusi Suhartoyo dalam dissenting opinion-nya menyatakan MK seharusnya menolak permohonan itu, bahkan tak menyidangkan, karena pemohon tak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang jelas.

Dan, hakim konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya menolak permohonan itu karena sebelumnya pernah dicabut tapi pencabutannya dibatalkan. Arief menilai itu sebagai ketidakseriusan pemohon dan kuasa hukum, sehingga dapat ditafsirkannya mempermainkan muruah lembaga peradilan.

“Dengan demikian, sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara maka Pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali,” ujar Arief dalam dissenting opinion-nya.

Putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 itu pun mendapat kritik dari sejumlah pihak, tak terkecuali para pakar Hukum Tata Negara (HTN). Terkait putusan tersebut pun muncul aduan dugaan pelanggaran etik ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Plt Karo Humas dan Protokol MK Budi Wijayanto mengatakan pengumuman pembentukan MKMK akan digelar di Gedung MK, Senin (23/10) siang ini.

“Iya (akan umumkan pembentukan MKMK). Terlapornya hakim konstitusi. Terkait dengan masalah Putusan 90 Tahun 2023,” ujar Budi, Jumat (20/10).

Budi menyebut setidaknya ada empat pelapor dalam perkara ini. Ia mengatakan terlapor pada perkara ini tidak spesifik pada satu hakim konstitusi.

“Dengan adanya berbagai macam laporan, maka kita akan segera membentuk MKMK. Nanti disampaikan Pak Ketua (Anwar Usman) dan Prof Enny Nurbaningsih,” ucapnya.

Ia menjelaskan formasi MKMK akan disampaikan hakim Enny. Ia memaparkan berdasarkan aturan maka komposisi MKMK ini terdiri dari hakim konstitusi aktif, mantan hakim konstitusi, dan akademisi.

Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua MK Anwar Usman kepada dewan etik pada Rabu (18/10). Anwar dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik karena putusan itu.

Petrus dan TPDI menyatakan seorang hakim harusnya mundur dari perkara apabila terdapat hubungan keluarga. Ia menyoroti posisi Anwar yang ikut membahas dan memutus perkara batas usia ini, terutama Perkara 90 yang menghasilkan amar “mengabulkan sebagian”.

Anwar diduga telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik hakim konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 17 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Teranyar, Saldi Isra juga dilaporkan ke MKMK karena perbedaan pendapatnya dalam putusan syarat batas usia capres-cawapres. Pernyataan Saldi dianggap menodai dan menjatuhkan martabat MK.

Salah satu pakar Hukum Tata Negara yang mafhum melihat kejanggalan putusan itu adalah akademisi dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi. Dia menilai wajar bila muncul dugaan bahwa Anwar Usman ada konflik kepentingan dan penyalahgunaan  kekuasaan dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal capres-cawapres.

“Apakah di sini (Putusan Nomor 90) ada kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (Oleh Ketua MK Anwar Usman), iya. Kalau saya membaca begitu. Dari catatan-catatan yang disampaikan hakim-hakim dissenting opinion, kuat dugaan memang begitu. Sebab, tidak mungkin orang secepat itu mengubah pendiriannya,” ujar Fahmi, Selasa (17/10) malam lalu.

Proses janggal dilihat dari dissenting opinion hakim
Fahmi lantas menyinggung pendapat berbeda (dissenting opinion) Wakil Ketua Saldi Isra pada Putusan Nomor 90.

Dalam dissenting opinion-nya, Saldi menyoroti komposisi hakim yang berubah dari awalnya sepakat menolak untuk seluruhnya pada Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023. Tiga perkara itu hanya diputus oleh delapan hakim konstitusi. Adapun Anwar tidak ikut memutus tiga perkara itu.

Namun, pendapat mahkamah berubah pada Putusan 90/PUU-XXI/2023, ketika Anwar ikut di dalam RPH.

Selain Saldi, Fahmi juga menyinggung hal-hal ganjil yang disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinion-nya di Putusan Nomor 90 itu.

Di sana, Arief bercerita soal RPH Perkara 29, 51, 55 yang tidak dihadiri Anwar menghasilkan amar menolak. Namun, Anwar ikut RPH Perkara 90 hingga berbuah amar mengabulkan sebagian. Menurut Arief, tindakan Anwar itu di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar.

“Mungkin ini sesuatu yang sulit kita buktikan, tetapi petunjuk-petunjuk, penjelasan-penjelasan di dissenting opinion Prof. Arief yang melihat keganjilan-keganjilan dalam ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa ada intervensi dari luar terhadap kekuasaan kehakiman, kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara ini untuk memutus seperti yang hari ini,” jelas Fahmi.

Menurut Fahmi, keganjilan yang disampaikan Arief dalam dissenting opinion-nya berkesinambungan dengan dissenting opinion Saldi mengenai ada hakim yang mengusulkan pembahasan perkara batas usia untuk ditunda dan ada pula pihak yang meminta perkara cepat diputus.

“Petunjuk itu kuat sekali bahwa MK diintervensi dalam memutus keputusan seperti ini, sehingga pertimbangan hukum telah dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih pragmatis. Sehingga inilah yang menyebabkan kenapa muncul putusan yang betul-betul jelek seperti yang kita baca di Perkara Nomor 90 ini,” kata Fahmi.

Legal standing pemohon

Fahmi juga mempertanyakan mengapa Perkara 90 yang dikabulkan, bukannya Perkara 55.

Dia menerangkan di dalam dissenting opinion-nya Hakim Suhartoyo menilai mahkamah mestinya mengabulkan sebagian perkara 55 karena pemohonnya adalah sejumlah kepala daerah, termasuk Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak. Para pemohon, kata Fahmi sepakat dengan Suhartoyo, dinilai memiliki kepentingan dalam mengajukan permohonannya.

“Yang anehnya, kalau mau memutus itu ya, lah kok diputus di Perkara Nomor 90 yang pemohonnya mahasiswa? Kenapa enggak di Perkara 55 saja? Itu lebih jelas, pemohonnya kepala daerah tuh, ada wakil gubernur, bupati, itu jauh lebih klir, ya mungkin kalau ikut pandangannya Pak Suhartoyo ya. Itu di 55. Tapi justru diputus di Nomor 90 yang pemohonnya mahasiswa, yang kepentingan hukumnya tidak cukup jelas untuk kita lihat di situ,” tutur dia.

Perubahan komposisi hakim

Lebih lanjut, Fahmi menyoroti perubahan posisi hakim dari Perkara 29, 51, dan 55 dengan putusan nomor 90.

Hakim Konstitusi Guntur dinilai konsisten mengabulkan syarat batas usia capres-cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

“Hakim yang dari awal punya standing mengabulkan itu yang konsisten, yaitu Hakim Guntur Hamzah. Di perkara 29, 51, 55, 90, dia konsisten terus. Bahkan yang jadi amar putusan itu, itu usulan Guntur itu. Coba baca dissenting-nya di perkara 29, 51, 55 itu persis sama dengan amar putusan dengan amar putusan di Perkara Nomor 90. Berarti itu konsistensi pandangannya Guntur, pendiriannya terkait dengan syarat usia 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu termasuk pilkada,” terang Fahmi.

“Yang berubah itu pak Manahan, bu Enny, Pak Daniel Yusmic. Ketika di Putusan 29, 51, 55 kan menolak, tapi di Putusan 90 jadi bergeser mengabulkan sebagian,” kata dia.

Oleh karena itu, Fahmi menilai Putusan Nomor 90 itu belum layak menjadi putusan MK.

Sebab, amar yang diputus hanya disetujui oleh tiga hakim MK saja. Posisi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh di alasan berbeda (concurring opinion) pada Perkara 90 tidak dapat diartikan menyetujui amar putusan.

“(Amar usulan Enny dan Daniel) Tidak sesuai dengan apa yang dijadikan amar di Putusan MK, sehingga mereka berdua tak bisa diklaim sebagai orang yang menyetujui amar yang menjadi Putusan MK. Sehingga amar itu bukanlah amar yang bisa diklaim sebagai putusan MK karena hanya tiga hakim yang ada di amar itu,” ujar Fahmi.

Menurutnya, pengambilan suara dalam memutus perkara itu telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang MK. Fahmi mengatakan putusan mesti melalui proses musyawarah untuk mufakat. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka putusan diambil dari perolehan suara terbanyak di antara para hakim.

“Harusnya MK tidak buru-buru memutus ini kemarin. Terus musyawarah dulu sampai terpenuhi syarat mayoritas tadi, suara terbanyak. Kan di situ (UU MK) jelas. Diputus kalau tidak bisa musyawarah, diputus berdasarkan suara terbanyak. Hakim MK itu sembilan, apa suara terbanyak itu tiga? Kan tidak,” imbuhnya.