Kemendikbud Menemukan ada 24,4 Persen Siswa Berpotensi Alami Insiden Perundungan di Sekolah

Pendidikan757 views

Inionline.id – Hasil asesmen nasional Kemendikbudristek menemukan ada 24,4 persen siswa atau peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan atau sekolah.

Demikian dikatakan Plt Sekretaris Ditjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek Praptono dalam webinar bertajuk ‘Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan melalui Permendikbudristek PPKSP’, Kamis (24/8) petang.

“Kemendikbudristek dengan asesmen nasional kemarin, kita itu mendapat sebuah angka temuan yang sangat luar biasa, dan ini menuntut kepada kita untuk serius menangani. Yang pertama adalah 24,4 persen, peserta didik, berdasarkan pengakuan mereka itu berpotensi untuk mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan,” ujar Praptono.

Bukan hanya itu, sambungnya, pada proses asesmen yang sama Kemendikbudristek juga mendapati 22,4 persen peserta didik pernah mengalami insiden kekerasan seksual di sekolah.

“Kita juga menemukan 22,4 persen peserta didik menjawab pernah– pada pertanyaan survei–yang menunjukkan insiden kekerasan seksual. Ini yang terjadi pada satuan pendidikan kita,” katanya.

Hal itulah, sambungnya, yang kemudian menjadi salah satu alasan penerbitan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).

Pada beleid tersebut, dia menjelaskan kekerasan yang terjadi bukan hanya fisik dan seksual, tapi juga termasuk psikis hingga intoleransi.

Merujuk pada Pasal 6 Permendikbudristek 46/2023 ada tujuh bentuk kekerasan yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, serta bentuk kekerasan lainnya.

“Dari sisi dampak sudah banyak bukti menunjukkan kekerasan yang dialami anak pada masa pertumbuhan bisa meninggalkan trauma yang sangat mendalam sehingga bisa mengganggu proses belajar mengajarnya,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengapresiasi langkah Kemendikbudristek yang merevisi Permendikbud soal kekerasan di sekolah jadi yang terbaru Permendikbudristek 46/2023 ini.

“Untuk pertama kalinya seorang pejabat publik selevel menteri mengakui kekerasan-kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, dengan istilah beliau adalah tiga dosa besar. Inikan perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi,” kata Retno.

“Termasuk kekerasan psikis, itu pun ada [dalam Pemendikbudristek 46/2023],” imbuhnya.

Retno mengatakan tak bisa dipungkiri bahwa fakta kekerasan di satuan pendidikan banyak terjadi di Indonesia. Ia mengatakan berdasarkan catatan yang dilaporkan ke FSGI pada Januari-Juli 2023 ada 25 aksi perundungan di satuan pendidikan yang terjadi.

“Berarti kalau dirata-rata setiap minggu terjadi kekerasan [perundungan]… Itu gunung es, karena banyak juga yang tidak melapor,” kata dia yang pernah menjadi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.

Perhatian pada korban kekerasan

Retno juga mengingatkan pihak yang berwenang menangani dan mencegah kekerasan di satuan pendidikan yang diamanatkan via Permendikbudristek itu pun harus hati-hati terhadap korban hingga saksi. Dia pun memberi contoh kasus kekerasan yang pernah ditangani pihaknya ketika korban justru menjadi korban lagi ketika ditangani pihak sekolah.

“Kerap kali ada sekolah yang bilang, itu (korban) cari perhatian” ujar Retno yang lalu membeberkan salah satu contoh kasus yang diperhatikan pihaknya.

Oleh karena itu, mengimbau pihak sekolah harus memberikan ruang yang aman dan kepercayaan kepada korban, alih-alih menduga yang tidak-tidak.

Dalam Permendikbudristek 46/2023 diwajibkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penangan Kekerasan (TPPK) pada tingkat sekolah. Permendikbudristek baru ini juga mengamanatkan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas). TPPK dan Satgas itu harus dibentuk dalam kurun waktu 6-12 bulan setelah peraturan baru itu disahkan.

Selain itu, Retno pun menekankan prinsip agar memberi ruang juga bagi pelaku kekerasan atau peserta didik yang melakukan salah.

“Yang namanya anak itu bisa salah, boleh salah, tapi harus diberi kesempatan memperbaiki diri. Itu prinsip yang harus dipahami,” katanya.

Retno pun berharap satuan pendidikan dan keluarga bisa sejalan dan bekerja sama untuk menihilkan kekerasan.

“Ini penting antara pengasuhan di rumah dengan pengasuhan di sekolah, kalau bisa sama: Tanpa kekerasan. Sehingga, kita bisa putus mata rantai kekerasan,” tegasnya.

Dalam webinar tersebut, Psikolog Anak dan Remaja Vera I Hadiwidjojo mengatakan dampak kekerasan terhadap korban salah satunya bisa timbul ketidakpercayaan hingga dirinya depresi. Dia pun mengatakan dampak kekerasan juga bisa ada pada pelaku jika dibiarkan. Dan, sambungnya, tak menutup kemungkinan pelaku juga sebetulnya adalah korban kekerasan di lingkungan lain.

“Dampak kekerasan juga ada di pelaku. Pelaku kalau dibiarkan saja, ya terus itu akan menganggap kekerasan sebagai salah satu yang bisa dia pakai, yang dia mau… itu akan terus terbawa sampai dewasa,” katanya.

“Semakin parah bisa menjurus ke kriminalitas,” imbuh Vera.