Nego Mentok, Nyaris Deadlock, 5 Bulan Penyanderaan Pilot Susi Air

Inionline.id – Lima bulan berlalu, upaya pembebasan sandera pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, belum membuahkan hasil. Proses mediasi buntu. Sementara Tentara Nasional Indonesia terus mengirim pasukan ke Papua.

Philip disandera kelompok bersenjata pada 7 Februari lalu. Kelompok ini mengaku sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap Organisasi Papua Merdeka. Mereka menyatakan tidak akan melepaskan pilot asal Selandia Baru itu kecuali Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua.

Panglima TPNPB-OPM Kodap III Ndugama, Egianus Kogoya menyatakan kelompoknya telah membakar pesawat Susi Air Pilatus Porter PC 6/PK-BVY yang dikendarai Philip di Bandara Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Saat itu pesawat tengah melaksanakan penerbangan rute Timika-Paro-Timika.

“Kami TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma tidak akan pernah kasih kembali atau kasih lepas pilot yang kami sandera ini, kecuali NKRI mengakui dan lepaskan kami dari negara kolonial Indonesia (Papua merdeka),” kata Egianus, dalam keterangan tertulis, Selasa (7/2).

Menurutnya, penyanderaan ini merupakan yang kedua kalinya, setelah aksi sandera oleh Tim Lorentz pada 1996 di Mapenduma.

“Pilotnya kami sudah sandera dan kami sedang bawa keluar, untuk itu anggota TNI/Polri tidak boleh tembak atau interogasi masyarakat sipil Nduga sembarang,” katanya.

Sejak penyanderaan itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerjunkan Tim Gabungan Operasi Damai Cartenz untuk mencari keberadaan pilot.

Sementara, TNI Angkatan Darat segera melepas pasukan ke Kabupaten Nduga. Saat itu Kepala Staf TNI AD Jenderal Dudung Abdurachman menyatakan pasukan membawa target mencari keberadaan pilot dan memburu kelompok yang disebut separatis teroris.

Dua bulan berselang tim gabungan TNI-Polri menangkap anak buah Kogoya yaitu Yomse Lokbere. Tim gabungan juga mengklaim telah menemukan gudang persenjataan di Sagu Lima Kenyam, Nduga.

Akan tetapi, penangkapan itu justru memicu eskalasi konflik memanas. Sedikitnya lima prajurit TNI tewas dan puluhan lainnya hilang usai baku tembak dengan kelompok bersenjata di Nduga.

Merespons hal ini, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono kemudian meningkatkan status operasi menjadi siaga tempur di Papua pada 18 April. Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Izak Pangemanan mengirim 400 personel dari Batalyon Yonif RK 751/VJS ke Nduga.

Hanya minta kemerdekaan

Operasi penyelamatan Philip pun memasuki babak baru. Kelompok Egianus mendesak negosiasi dengan pemerintah. Dua bulan menjadi tenggat waktu yang diberikan sebelum Philip disebut akan ditembak.

“Jika itu (negosiasi) tidak terjadi dalam waktu dua bulan, mereka mengatakan akan menembak saya,” kata Philip dalam video yang dibagikan (27/5).

Terkait negosiasi ini, Polda Papua sempat menyebut kelompok Egianus meminta uang tebusan Rp5 miliar untuk ditukar dengan pilot Susi Air. Namun isu ini dibantah oleh Egianus sendiri sebagai omong kosong.

“Saya tangkap pilot tidak minta uang. Saya hanya minta kemerdekaan,” kata Egianus melalui keterangan video yang diterima, Sabtu (8/7).

Hampir 2 bulan setelah ultimatum dikeluarkan, Kepala Operasi Damai Cartenz 2023 Kombes Faizal Ramdhani menyatakan Philip masih hidup. Hal itu ia sampaikan setelah beredar kabar Philip akan ditembak pada 1 Juli.

Sementara Panglima TNI menegaskan upaya penyelamatan pilot Susi Air dilakukan dengan hati-hati. Pihaknya juga memaksimalkan negosiasi dengan menggandeng tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat setempat.

“Kami hormati bahwa ada tokoh masyarakat yang akan berusaha menyelesaikan secara damai tersebut dan mereka juga tidak berharap ada kontak tembak antara TNI-Polri untuk menyelamatkan (Philip), itu kita coba penuhi,” ujar Yudo di Hotel Westin, Jakarta, Senin (29/5).

Salah satu tokoh agama asal Papua yang berusaha ikut memediasi proses pembebasan pilot Susi Air adalah pendeta Benny Giay. Menurutnya, ini merupakan kasus penyanderaan ketiga di Papua yang melibatkan pihak gereja untuk menjadi mediator, setelah Januari 1996 dan Juni 2001.

Namun, kasus kali ini dianggap lebih berat lantaran kata Benny, TNI terus melancarkan operasi militernya di Papua, khususnya Nduga. Dengan keberadaan pasukan TNI, pihak gereja kesulitan melakukan mediasi untuk pembebasan sandera.

“Kami mau memediasi, untuk pergi bernegosiasi itu, (kami) pergi sampaikan pesan damai, pilot harus dibebaskan, itu semua harus dalam kondisi damai, bukan dalam operasi siaga tempur,” kata Benny kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Minggu (9/7).

Dia mengatakan pihaknya telah meminta pemerintah untuk menarik pasukan militer dari Nduga sebagai syarat mediasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kata Benny, pembebasan sandera bisa dilakukan ketika pasukan TNI-Polri sudah angkat kaki dari titik api peristiwa.

“Kalau tidak ada tanda-tanda pemerintah untuk tarik tentara, susah buat kami. Macetnya di situ. Operasi militer tetap berjalan, ini masih siaga operasi tempur, (tapi) pasukan terus menerus dikirim,” kata Benny.

Sejalan dengan Benny, Ketua Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik menilai upaya pembebasan sandera melalui operasi militer telah gagal. Menurutnya, jalan damai melalui negosiasi perlu diperkuat.

Taufan menyebut tentara OPM memiliki pasukan cukup kuat ditambah dengan kecakapan penguasaan medan. Terbukti, sejumlah personel TNI-Polri gugur dalam sebuah operasi militer.

Selain itu, kelompok bersenjata di Papua juga menggabungkan diri dengan elemen masyarakat sipil untuk mengecoh TNI-Polri. Taktik ini menyulitkan pasukan keamanan menandai kelompok bersenjata dengan sipil lantaran paras mereka serupa.

Dia menilai upaya pembebasan sandera melalui operasi militer justru akan membahayakan Philip khawatir sakit bahkan meninggal karena terus menerus dalam pengejaran.

Taufan menyebut Pemerintah Indonesia melakukan kebijakan dua kaki, yakni melakukan upaya damai melalui negosiasi sambil tetap melakukan operasi militer.

Ia mengatakan kondisi Papua yang belum ditetapkan sebagai darurat militer seharusnya jadi pengingat bagi Yudo agar tidak melibatkan TNI secara aktif di sana. Menurutnya, anak buah Yudo seharusnya bertindak sebatas membantu Polri dalam penegakan hukum.

“Tidak bisa Panglima TNI bikin operasi tanpa mengikuti policy yang sudah dibuat oleh polisi, dia posisinya begitu kan, itu bukan darurat militer. Saya berharap tidak akan pernah dijadikan darurat militer karena akan semakin berbahaya,” kata Taufan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/7).

Dia mendesak agar tim gabungan TNI-Polri menghentikan operasi militer dalam pembebasan Philip. Ia khawatir akibat operasi militer itu masyarakat sipil akan mengungsi dan berujung pada krisis kemanusiaan.

Terpisah, pengamat militer dari Universitas Padjajaran Muradi juga menilai selama ini operasi militer memang dilakukan oleh TNI-Polri, beriringan dengan upaya pembebasan melalui negosiasi.

Menurutnya, kedua hal tersebut memang tak bisa dilepaskan satu sama lain. Meskipun Panglima TNI dan Kapolri tidak menyebut secara langsung bahwa operasi militer pembebasan Philip sedang berlangsung.

“Sebenarnya operasi militer itu sudah include dan enggak perlu disampaikan, kan pengejaran mereka itu kan juga operasi militer,” kata Muradi.

Menurutnya, operasi militer tidak juga membuahkan hasil. Sementara itu pemerintah Indonesia tak bisa menerima bantuan dari pihak asing.

Permasalahan Philip dianggap bukan sekadar masalah penyanderaan biasa. Lebih jauh dari itu, ini adalah permasalahan yang menyangkut kedaulatan negara Indonesia melawan kelompok yang ingin merdeka.

“Kita enggak bisa mengatakan bahwa ini baik-baik saja, karena posisinya ini ada sandera asing yang ekspos medianya luar biasa,” kata Muradi.

Sementara itu, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati menilai selama ini TNI-Polri tak melakukan operasi militer, tetapi pengamanan warga sipil.

Menurut Vidhyandika, hal itu dilakukan lantaran ketidakpastian situasi keamanan di Papua. Terlebih situasi Philip yang dijadikan tahanan politik oleh kelompok Egianus membuat situasi semakin panas.

Dia menilai, proses pembebasan Philip yang berlarut-larut karena upaya negosiasi gagal. Upaya negosiasi melalui pendekatan fasilitator lokal dinilai tidak tepat. Mereka, bagi pemerintah ibarat memakan buah simalakama.

Hal itu diperparah dengan maraknya orang asli Papua yang juga memiliki aspirasi untuk merdeka, meskipun tak setuju dengan jalan yang ditempuh oleh kelompok Kogoya.

Aspirasi itu lahir lantaran orang asli Papua merasa dinomorduakan selama ini, meskipun pemerintah telah melakukan upaya pendekatan melalui pembangunan infrastruktur.

Dalam rangka memuluskan negosiasi, kata Vidhyandika, salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah adalah menunjuk fasilitator yang dipercayai oleh kelompok Egianus Kogoya. Upaya tersebut setidaknya dapat membuka peluang pembebasan melalui dialog damai.

“Karena orang yang terlibat dalam pembebasannya itu enggak punya legitimasi di mata Kogoya. Makanya mentok jadi deadlock,” kata Vidhyandika.

Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan pihaknya masih mengupayakan negosiasi, ketika ditanya terkait operasi militer selama pembebasan pilot Susi Air. “Panglima lebih mengedepankan smart ops seperti negosiasi dan lain-lain,” kata Julius melalui pesan WhatsApp, Senin (10/7).

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Ignatius Benny juga mengatakan upaya yang sama soal pembebasan Philip.

“Masih diupayakan proses negosiasi dengan KKB (kelompok kriminal bersenjata). Prioritas utama adalah keselamatan pilot,” kata Benny.

Presiden Joko Widodo telah menegaskan pemerintah tidak diam dalam upaya pembebasan pilot Susi Air Philip Mehrtens yang disandera kelompok bersenjata. Jokowi menyatakan pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk pembebasannya.

“Kita ini jangan dilihat diam, lo, ya. Kita ini sudah berupaya dengan amat sangat, tetapi tidak bisa kita buka apa yang sudah kita upayakan,” kata Jokowi di Jayapura, disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (7/7).