Dokter Unair Bagikan Tips Hadapi dan Mencegah Altitude Sickness

Pendidikan557 views

Inionline.id – Mendaki gunung memiliki tantangan tersendiri. Salah satu rintangan yang kerap dirasakan pendaki adalah altitude sickness atau penyakit ketinggian.

Altitude sickness disebabkan karena tubuh tidak mendapatkan waktu cukup untuk menyesuaikan diri dengan oksigen dan perubahan tekanan udara saat berada di ketinggian. Ketua Departemen Anastesiologi dan Reaminasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Bambang Pujo Semedi, membagikan tips menghadapi dan mencegah altitude sickness.

Altitude sickness dapat terjadi saat pendakian 5.000 mdpl hingga 8.000 mdpl. Altitude sickness dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti Acute Mountain Sickness (AMS), High Altitude Pulmonary Edema (HAPE), dan High Altitude Cerebral Edema (HACE).

“Tidak bisa kalau naik gunung tanpa persiapan. Harus tahu bahwa berada di ketinggian risikonya apa kalau tidak persiapan,” kata Bambang saat menjadi narasumber dalam Indonesia Mountain Medical Summit dikutip dari laman unair.ac.id, Rabu, 22 Maret 2023.

Bambang menjelaskan AMS dapat terjadi saat seseorang berada pada ketinggian lebih dari 2.500 mdpl. Gejala yang bisa dirasakan, seperti nyeri kepala, gangguan pencernaan, hingga gangguan tidur.

Sedangkan, gejala HAPE yang dapat diwaspadai, seperti batuk, sesak napas, hingga tampak kebiruan pada tangan. Masalah ini dapat mengakibatkan penumpukan cairan pada paru-paru.

Bambang mengatakan HAPE dapat terjadi pada 1-3 hari setelah pendakian. Sementara itu, HACE merupakan penyakit paling berat pada altitude sickness ditandai dengan gejala penurunan kesadaran, ataksia atau gangguan gerak tubuh, dan pembengkakan saraf mata atau yang disebut papiledema.

“Kalau kemudian sampai otaknya bengkak (HACE) maka orang itu pasti akan hilang kesadarannya,” ujar dokter yang memiliki hobi berlari dan mendaki tersebut.

Bambang menuturkan cara yang bisa dilakukan ketika mengalami gejala altitude sickness ringan adalah beristirahat terlebih dahulu. Namun, apabila semakin lama keadaan semakin memburuk disarankan tidak melanjutkan pendakian dan segera turun.

“Kalau gejalanya semakin parah mutlak oksigen harus diberikan dan segera turun. Begitu juga kalau sudah istirahat tapi masih sesak napas maka hati-hati,” ujar dia.

DIa mengatakan tubuh manusia memiliki proses yang dinamakan aklimatisasi. Proses ini merupakan penyesuaian tubuh saat berada pada kondisi tertentu, salah satunya berada pada ketinggian.

“Aklimatisasi itu tidak mudah dan cepat, itu butuh waktu. Jadi, sebelum mendaki harus latihan bisa dikombinasi dengan olahraga,” ucap dokter anestesiologi yang bertugas di RSUD dr. Soetomo tersebut.

Sementara itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pendaki untuk menghindari altitude sickness. Pertama, hindari mendaki terlalu cepat pada pendaki yang belum terlatih.

Kedua, hindari merokok, narkoba, dan kebiasaan buruk yang merusak kesehatan. Ketiga, wanita hamil sebaiknya tidak tidur di ketinggian lebih dari 3.700 mdpl.

Keempat, jaga kesehatan mental. Kelima, saat berada pada ketinggian makanlah makanan yang mengandung banyak kalori. Keenam, jaga hidrasi dengan minum cukup air.

Ketujuh, pilihlah istirahat malam pada ketinggian lebih rendah dan mendaki pada pagi hari. Kedelapan, turun sekurangnya setengah mil saat gejala AMS dirasakan. Kesembilan, istirahat yang cukup.