Kondisi Politik Global Semakin Tidak Menentu Dengan Munculnya Tren Globalisasi versus Deglobalisasi

Jakarta, IniOnline.id – Kondisi politik global semakin tidak menentu dengan munculnya tren Globalisasi versus Deglobalisasi yang ditandai dengan berkembangnya populisme di Amerika dan Eropa serta di negara-negara lainnya. Kondisi ini menyebabkan perlunya penyesuaian sistem kerja institusi pemerintah yang sebelumnya didesain untuk menuju dan mengarungi globalisasi.

Tidak mengherankan, pemahaman terhadap konstelasi dan perkembangan politik internasional sangat penting dalam menyikapi berbagai isu khususnya soal sawit yang kini menjadi salah prioritas Kementerian Luar Negeri.

Hal tersebut diungkapkan Mahendra Siregar, Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Penguatan Program-program Prioritas, pada Diklat Sesdilu ke-60, Kamis, 15 Maret 2018. Pada kesempatan tersebut, peserta mendapatkan pembekalan materi tentang peluang dan tantangan sawit Indonesia.

Mahendra Siregar yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM itu lebih lanjut menjabarkan bahwa isu kelapa sawit kini menjadi salah satu isu strategis nasional Indonesia. Diplomat dituntut untuk dapat memainkan perannya dalam melihat peluang dan tantangan serta cakap dalam menentukan strategi diplomasi sawit di fora internasional.

Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN – Uni Eropa di Manila, Filipina, 14 November 2017 yang lalu, misalnya, dengan sangat tegas meminta UE menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap sawit Indonesia. Presiden menekankan bahwa sebanyak tujuh belas juta penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada industri ini.

“Industri kelapa sawit telah menjadi salah satu instrumen pemerintah Indonesia dalam upaya pengentasan kemiskinan, mempersempit kesenjangan dan pembangunan ekonomi yang inklusif,” ungkapnya.

Menyikapi posisi Parlemen Eropa dalam trilogue antara Parlemen Eropa – Komisi Eropa – Dewan Eropa dalam merumuskan Renewable Energy Directive II yang melarang pemakaian biofuel berbahan dasar kelapa sawit mulai 2021, Indonesia pada tanggal 15 Februari 2018, melalui KBRI Brussel bersama 6 negara produsen (Malaysia, Thailand, Kolombia, Nigeria, Guatemala, dan Ekuador) telah melakukan protes kerasnya.

​“Diplomat Indonesia harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan politik internasional yang semakin kompleks. Ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan, Diplomat Indonesia harus berani mengambil resiko dalam memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia” imbuh Mahendra.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa Indonesia bersama dengan negara penghasil sawit lainnya harus mengambil langkah-langkah tegas terhadap UE. Indonesia sendiri harus mencari strategi baru guna memindahkan pasar sawitnya dari UE ke pasar lain. Salah satu langkah yang dapat dilakukan, misalnya, dengan mengoptimalkan pasar yang sudah ada.

Selain itu, upaya penjajakan pasar baru juga harus dilakukan. Inilah yang menjadi tantangan bagi para diplomat Indonesia yang dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, out of the box dan out of text book, dalam membuka pasar baru, mencari peluang potensi investasi, dan menjadikan minyak sawit sebagai salah satu jawaban permasalahan.

Salah satu peserta, Adi Kawidastra, menyoroti perlunya kesamaan pandangan dan sikap stakeholders terkait di Indonesia dalam menyikapi isu ini.​

Selain itu peserta lainnya, Julius Mada Kaka, menekankan pentingnya peningkatan sinergi dan koordinasi dengan negara penghasil sawit lain, tidak hanya Malaysia. “Hal ini akan semakin memperkuat posisi negara-negara produsen sawit dalam mengahadapi kampanye negatif dari pihak-pihak tertentu” ungkapnya. (kemenlu/na)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *