Industri Minuman Beralkohol yang Terancam RUU Minol

Ekonomi157 views

Inionline.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (RUU Minol). Beleid itu sudah diunggah di situs badan legislatif untuk pembahasan.

RUU itu memuat soal larangan produksi, penyimpanan, peredaran, dan konsumsi minuman beralkohol untuk beberapa jenis, yakni minuman beralkohol dengan kadar etanol 1-5 persen, 5-20 persen, dan 20-55 persen. Larangan juga berlaku untuk minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan.

Nantinya, minuman beralkohol hanya boleh untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Pihak yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi hukum pidana berupa penjara tiga bulan sampai 10 tahun dan denda mulai dari Rp20 juta hingga Rp1 miliar.

Anggota DPR dari Fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal, salah satu pihak yang mengusulkan RUU ini mengatakan aturan sengaja dibuat sebagai amanat dari UUD 1945 dan ajaran agama.

“RUU bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol,” ucap Illiza, Rabu (11/11).

Kendati begitu, belum jelas seperti apa hasil dari usulan RUU ini. Selain itu, belum ada pula target waktu kapan sekiranya aturan ini akan diterapkan.

Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) belum bisa memberi gambaran seperti apa dampak yang akan ditimbulkan bila aturan ini disahkan dan akan diterapkan. Hanya saja, ia memberi gambaran bahwa industri minuman beralkohol sejatinya tengah lesu.

Sekretaris Jenderal APIDMI Ipung Nimpuno mengatakan penjualan minuman beralkohol khususnya yang berasal dari impor sudah turun 80 persen sepanjang tahun ini. Penyebabnya, yaitu turunnya permintaan di tengah pandemi virus corona atau covid-19.

Hal lain karena izin impor yang molor dari Kementerian Perdagangan. Izin seharusnya keluar sejak Januari, namun baru disetujui pada Juli 2020.

“Impornya butuh 2-3 bulan, jadi baru masuk Oktober, ini penjualan jadi turun, tidak ada stok,” kata Ipung.

Kondisi ini diperkirakan bakal memperkecil porsi pasar minuman beralkohol di dalam negeri. Padahal, saat ini porsi konsumsi minuman beralkohol kurang dari 1 persen dari berbagai jenis minuman yang beredar di Indonesia.

“Yang terbesar masih minuman mineral pangsanya, minuman alkohol sangat kecil,” imbuhnya.

Pernyataan dari Ipung ini terkonfirmasi pula pada data penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) kepada negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai MMEA baru mencapai Rp3,61 triliun sepanjang Januari-September 2020.

Sumbangan cukai dari MMEA sekitar 3,1 persen dari realisasi sementara penerimaan cukai pemerintah mencapai Rp115,32 triliun per September 2020. Dari sisi pertumbuhan, realisasi ini turun 23,02 persen dari capaian Januari-September 2019 sebesar Rp4,68 triliun.

Kala itu, penerimaan cukai MMEA justru naik 14,49 persen dari Januari-September 2018. Kondisi ini berpotensi membuat realisasi penerimaan cukai MMEA tak mencapai target sebesar Rp7,1 triliun.

Padahal, realisasi cukai MMEA selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat, cukai MMEA mencapai Rp4,5 triliun pada 2015.

Lalu, naik menjadi Rp5,3 triliun pada 2016. Kemudian, meningkat lagi ke Rp5,57 triliun pada 2017 dan Rp6,4 triliun pada 2018 serta Rp7,3 triliun pada 2019.