Terkait Bansos dalam Putusan Sengketa Pilpres, Berikut Pernyataan Lengkap MK

Politik657 views

Inionline.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti perihal bantuan sosial (bansos) yang dibagikan pemerintah selama Pilpres 2024.

Hal itu tertuang dalam Putusan MK atas permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh pasangan calon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan calon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Keterangan mengenai bansos itu merupakan jawaban MK atas dalil-dalil yang diajukan oleh para pemohon. Keterangan MK itu tercantum dalam pertimbangan hukum mahkamah pada berkas putusan masing-masing perkara.

Tiga Hakim MK mengutarakan dissenting opinion mereka terhadap putusan yang menolak gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD.

Mereka punya pendapat berbeda dari lima hakim lainnya yang menyatakan bahwa gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan AMIN dan Ganjar-Mahfud tidak bisa dibuktikan.

Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 (Anies-Muhaimin)

Anies-Muhaimin selaku pemohon mendalilkan adanya pelibatan lembaga kepresidenan untuk kepentingan pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berupa kampanye terselubung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kunjungan yang disertai pembagian bansos.

Menurut pemohon, Jokowi menyalahgunakan bansos dan melanggar UU APBN untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Mahkamah mengatakan telah mencermati secara saksama keterangan para pihak, termasuk keterangan para menteri serta dokumen yang diserahkan sebagai data dan/atau alat bukti pendukung.

Karenanya, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa program bansos, yang merupakan bagian dari program perlindungan sosial (perlinsos) telah diatur dalam UU APBN TA 2024, khususnya Pasal 8 ayat (2) huruf a dan penjelasannya, serta Pasal 20 ayat (1) huruf h beserta penjelasannya.

Penyaluran bansos sah

Mahkamah menilai perencanaan dan distribusi bansos merupakan tindakan yang sah secara hukum (legal) karena memang terdapat peraturan perundang-undangan yang melandasi.

Selain itu, menurut MK, notulasi rapat pembahasan dan keterangan menteri terkait pembahasan program bansos sebagai bagian dari program perlinsos menunjukkan bahwa program yang dirancang  presiden demikian telah mendapatkan persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.

Mahkamah mengatakan tidak dapat mengetahui intensi/niat lain di luar tujuan penyaluran dana perlindungan sosial sebagaimana yang disampaikan para menteri dalam persidangan, khususnya Menteri Keuangan.

Kemudian Mahkamah juga tidak dapat mengetahui intensi di balik penentuan jangka waktu antisipasi maupun mitigasi tersebut.

Mahkamah berpandangan tidak terdapat kejanggalan atau pelanggaran peraturan karena pelaksanaan anggaran bansos telah diatur secara jelas mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban.

“Termasuk, pelaksanaan anggaran bansos yang disalurkan secara sekaligus (rapel) dan yang langsung disalurkan oleh presiden dan menteri merupakan bagian dari siklus anggaran yang telah diatur penggunaan dan pelaksanaannya,” kata Mahkamah.

Tak terbukti relevansi bansos dan suara pemilih

Mahkamah tak menemukan relevansi penyaluran bansos dengan kenaikan suara salah satu pasangan calon tertentu di Pilpres 2024.

Menurut Mahkamah, pembacaan atas hasil survei oleh ahli, serta hasil survei itu dinilai tidak dipaparkan atau diserahkan secara utuh/lengkap/komprehensif sebagai alat bukti.

Karenanya, hal itu tidak memunculkan keyakinan bagi Mahkamah akan korelasi positif antara bansos dengan pilihan pemilih secara faktual.

“Berpijak dari hal demikian, terhadap dalil Pemohon menurut Mahkamah tidak terdapat alat bukti yang secara empiris menunjukkan bahwa bansos nyata-nyata telah mempengaruhi/mengarahkan secara paksa pilihan pemilih,” tegas Mahkamah.

Keterangan menteri soal bansos di sidang

MK menilai keterangan yang disampaikan para menteri di sidang perkara PHPU Pilpres 2024 tak cukup meyakinkan terkait maksud atau intensi penyaluran bansos oleh Jokowi untuk menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.

Mahkamah mengaku menemukan indikasi ketiadaan antisipasi presiden atas dampak kunjungan dan pembagian bansos terhadap fairness Pilpres 2024.

Hal itu didapati setelah MK mencermati fakta hukum mengenai latar belakang program bansos yang terungkap dalam persidangan, terutama dari dalil pemohon serta keterangan menteri-menteri yang dipanggil.

“Setidaknya dari keterangan lisan empat Menteri dalam persidangan, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan bukti adanya maksud/intensi dari Presiden terkait dengan penyaluran bansos yang dlilakukan oleh Presiden dengan tujuan untuk menguntungkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2,” jelas Mahkamah.

Mahkamah pun menilai tindakan Jokowi belum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum positif.

Minta aturan bansos diperjelas

Adapun Mahkamah menilai perlu adanya penegasan soal tata kelola penyaluran bansos di kemudian hari.

“Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan dalam rangka perbaikan tata kelola penyaluran bansos ke depan, khususnya penyaluran bansos yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu perlu diatur secara jelas menyangkut tata cara penyaluran, baik waktu, tempat, maupun pihak-pihak yang dapat menyalurkannya, sehingga tidak ditengarai sebagai tindakan yang dapat dimaknai sebagai bantuan bagi kepentingan elektoral tertentu,” terang Mahkamah.

Lebih lanjut, Mahkamah menyebut klaim bansos dan tindakan lainnya yang semacam charity tidak dengan selayaknya diklaim sebagai bantuan personal karena bagaimanapun pendanaan bansos dan bantuan presiden lain (yang menurut keterangan Menteri Keuangan bersumber dari dana operasional Presiden) bersumber dari APBN yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekayaan milik seluruh rakyat Indonesia.

Mahkamah mengatakan sementara presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah orang yang dipercayai masyarakat untuk mengelola APBN. Sehingga, kata Mahkamah, sama sekali tidak ada kepentingan pribadi atas APBN maupun seluruh kekayaan negara yang tidak tercatat di dalam APBN.

Mahkamah pun memberikan catatan khusus terkait bansos ini karena khawatir akan diikuti oleh petahana dalam Pilkada mendatang.

“Bahwa akan tetapi apabila Mahkamah tidak memberikan catatan khusus terhadap klaim sepihak atas penggunaan bansos oleh pemerintah -yang sekali lagi bansos sebenarnya bukan pelanggaran hukum- Mahkamah mengkhawatirkan praktik demikian akan menjadi preseden lantas diikuti oleh para petahana atau pejabat publik pengelola APBD dalam perhelatan pemilukada kelak,” jelas Mahkamah.

Putusan Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 (Ganjar-Mahfud)

Ganjar-Mahfud selaku pemohon mendalilkan Jokowi melakukan abuse of power dalam bentuk memanfaatkan APBN untuk menjalankan program bansos yang dipolitisasi dengan tujuan memengaruhi pemilih untuk memilih pasangan Prabowo-Gibran.
Mahkamah mengaku telah memeriksa secara saksama keterangan para pihak, bukti-bukti, ahli, dan saksi yang diajukan, fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta keterangan dari empat menteri terkait.

Soal ketidakterlibatan Mensos

Mahkamah membahas dalil pemohon terkait Jokowi bersama para menteri dan bahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia bergerak sendiri untuk membagikan bansos tanpa melibatkan menteri yang paling berkepentingan, yakni Menteri Sosial.

Menurut fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah mengatakan pembagian bansos oleh Kementerian Sosial dilakukan secara transfer melalui Bank HIMBARA dan PT. Pos Indonesia langsung ke rekening Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

“Oleh karena itu, menjadi wajar tidak selalu adanya keterlibatan Menteri Sosial dalam pembagian bansos mengingat penyaluran bansos dilakukan melalui transfer (cash-transfer), bukan melalui penyerahan langsung,” kata Mahkamah.

Korelasi bansos dan elektoral

Mahkamah menilai pemohon tidak mampu membuktikan korelasi pembagian bansos dan pilihan pemilih di Pilpres 2024.

“Pemohon tidak dapat menunjukkan dan tidak dapat pula membuktikan keterkaitan pembagian bansos yang dimaksud pemohon terhadap keterpilihan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024,” kata Mahkamah.

Mahkamah mengatakan apabila yang dimaksud pemohon adalah adanya pelanggaran penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan elektoral, maka hal tersebut sesungguhnya menjadi kewenangan Bawaslu ataupun juga DPR termasuk dalam hal ini lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan konstitusional yang melekat.

Tegaskan bansos perlu aturan lebih jelas

Mahkamah mengatakan regulasi pengaturan penggunaan bansos terkait dengan pemilu belum diatur secara tegas dan detail.

Karenanya, Mahkamah berpandangan hal-hal tersebut mesti diatur oleh Undang-Undang. Hal itu bertalian dengan penyelenggaraan pemilu selanjutnya.

“Oleh karena itu Mahkamah menegaskan seyogianya hal-hal a quo diatur dalam undang-undang terkait, sehingga pada pelaksanaan pemilu yang akan datang termasuk pemilukada sudah dapat diidentifikasi hal demikian merupakan bagian dari pelanggaran pemilu, baik secara administratif dan/atau pidana,” jelas Mahkamah.

Terlepas dari tidak terbuktinya dalil pemohon mengenai politisasi bansos, Mahkamah menilai perlu untuk menegaskan perihal pentingnya prinsip fairness dan persaingan sehat.

Mahkamah menjelaskan pada prinsipnya, presiden sebagai diri perseorangan warga negara Indonesia boleh berpihak pada salah satu pasangan calon, namun karena posisi sebagai pribadi WNI maupun dalam kapasitas jabatan presiden sulit dipisahkan.

Sehingga sikap dan tindakan Presiden dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat dipersepsikan oleh masyarakat seakan-akan berpihak pada pasangan calon tertentu.

“Oleh karena itu, ke depan, untuk menghindari kontroversi di masyarakat, perlu diatur dalam undang-undang secara lebih detail, tegas, dan komprehensif perihal keterlibatan presiden yang sedang menjabat dalam pemilu presiden dan wakil presiden,” kata Mahkamah.

Terlebih, berkenaan dengan bansos atau program sejenis dengan nama yang berbeda. Mahkamah mengatakan dalam PHPU Pemilu 2009 dan 2019, bansos atau program sejenis juga merupakan isu yang selalu dimunculkan atau didalilkan sebagai alasan adanya kecurangan dalam pemilu.

Mahkamah menyampaikan siapapun yang sedang menjabat sebagai presiden seyogianya menjadi pemimpin yang memberikan suri teladan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal itu dilakukan dalam rangka menjaga netralitas dan suasana kondusif dalam Pilpres.

Mahkamah berpandangan ke depannya, pembentuk undang-undang bersama penyelenggara pemilihan seharusnya dapat merumuskan pengaturan mengenai pemanfaatan bantuan termasuk bansos yang bersumber dari APBN dan APBD untuk pemenangan pemilihan, sebagai suatu bentuk pelanggaran pemilu baik secara administratif dan/atau pidana pemilu.

Hal itu dilakukan demi menjamin penyelenggaraan pemilihan yang sesuai dengan asas pemilihan umum serta menjaga kualitas demokrasi.

“Terlebih, untuk menjaga suasana pemilihan umum yang fair dan sehat, maka menurut Mahkamah perlu adanya pengaturan mengenai kapan batas waktu dibolehkannya penyaluran bantuan Perlinsos oleh negara ke masyarakat ketika menjelang pelaksanaan pemilihan umum,” terang Mahkamah.

Pembatasan waktu tersebut, kata Mahkamah, tetap harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang membutuhkan bantuan dengan mekanisme sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi masyarakat untuk menerima bantuan.

Selain itu, pembatasan waktu juga harus dikecualikan ketika terjadi keadaan force majeure yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti bencana alam dan wabah penyakit, sehingga memerlukan bantuan negara secara cepat.

“Pengaturan mengenai batas waktu tersebut dimaksudkan agar tujuan dari adanya Perlinsos terhindar dari anasir yang mengarah pada kecurangan ataupun pelanggaran pemilu,” jelas Mahkamah.