Bangkitnya BUMN ‘Si Unyil’ Setelah 26 Tahun Mati Suri

Nasional357 views

Inionline.id – Nama perusahaan pembuat film ‘Si Unyil’ yaitu Perum Produksi Film Negara (PFN) kembali hadir meramaikan industri perfilman. PFN baru meluncurkan film remaja berjudul Kuambil Lagi Hatiku pada Maret 2019 kemarin.

Film ini merupakan layar lebar teranyar yang dibuat PFN setelah lebih dari dua dekade tak berproduksi. BUMN perfilman itu seakan bangkit dari mati suri setelah 26 tahun tertidur.

Sejatinya, PFN pernah berjaya di tahun 1980-an, ketika membuat film-film fenomenal seperti film G30S/PKI dan film serial anak Si Unyil. Pada masa keemasannya, PFN juga memiliki beberapa studio, bioskop, hingga laboratorium perfilman super modern saat itu.

Tapi setelahnya, PFN menghadapi guncangan hingga seperti mati dimakan zaman. PFN pun sempat masuk sebagai kategori BUMN dhuafa alias yang merugi pada periode 2000-an.

Kembalinya PFN di 2019 ini pun diharapkan menjadi suplemen penyegar bagi perkembangan industri film nasional saat ini. Lantas, bagaimana kondisi PFN kini setelah akhirnya melahirkan film baru?

Di kantornya, Gedung PFN di Jl. Otto Iskandardinata (Otista) Raya No. 125, Jakarta Timur 13330, Direktur Utama PFN Mohamad Abduh Aziz bercerita tentang kondisi BUMN perfilman tersebut setelah 26 tahun tertidur pulas. Berikut petikan wawancaranya:

PFN baru saja meluncurkan film baru setelah sekian lama, bagaimana respon masyarakat?

Pertama tidak hanya publik secara luas, tetapi juga di orang-orang film itu juga jadi kegembiraan tersendiri. Biar bagaimana pun kan PFN ikon dalam perkembangan film nasional.

Dari sisi umur, PFN ini usianya sudah 72 tahun. Artinya dia pioneer di industri film.

Kenapa kemudian kemunculannya seperti memberikan harapan yang sangat besar, apalagi kalau kita lihat konteks sekarang industrinya lagi berkembang begitu besar. Harapannya apa, PFN bisa memainkan peran yang jauh lebih strategis ke depan mengingat bahwa industrinya sendiri punya banyak PR.

Dengan wajah baru PFN ini, kita berharap bahwa apa yang kita lakukan kemarin itu menjadi kickoff, berproduksi lagi, kita muncul lagi di masyarakat, dan kita harap ke depan jadi bisa lebih memainkan peran lebih besar.

Tapi kenapa baru tahun ini PFN memproduksi film? Apa latar belakangnya?

Ini tidak terlepas di perubahan struktur kepemimpinan PFN ini. Kami ini kan, BoD (Board of Director/Dewan Direksi) ini baru masuk ke PFN baru sekitar Juni 2016, 2,5 tahunan. Ketika kita masuk, kondisi ini memang memprihatinkan.

Memprihatinkan, artinya kita tidak punya aset apa-apa selain aset komplek perkantoran ini. Dalam produksi, SDM-nya juga masalah, finansial juga problem. Nah 3 tahun ini kita menata. Tidak ada maksud apa-apa, sebenarnya tahapannya saja yang kita tata. Tahapannya saja dulu kita tata, kita tata internal, kita tata SDM. Bisa dibilang SDM kita itu hampir baru semua. Karena yang lama sendiri sudah tidak aktif, pensiun karena dulu kebanyakan di sini pegawai negeri. Tahun 2015 sudah bersih.

Dulu itu kan PNS karena PFN di bawah Penerangan, kemudian dikembalikan ke Kominfo. Kita mulai 2016, mulai menata. Nah tahun ini, sebenarnya sudah dari tahun lalu kita sudah rencanakan. Sudah masuk 2 tahun kita harus muncul segera, dengan produk yang bisa meyakinkan publik bahwa PFN hidup kembali.

Bapak bilang baru dari tahun lalu menata, lantas sebenarnya apa yang dilakukan PFN selama 20 tahun lebih ini yang tidak memproduksi film?

Ini masa yang sebenarnya saya juga nggak banyak informasi. Sebenarnya kami ini benar-benar new kit on the block di-challenges untuk membenahi PFN, dan tanpa pengetahuan yang… sebenarnya kita nggak tahu persis apa yang membuat PFN vakum selama ini.

Tapi kalau dari yang kita pelajari di sini, memang ada satu situasi transisi yang memang tidak terelakkan. Dulu kan Departemen Penerangan dibubarkan, ingat zaman Gusdur. Ada situasi panjang di mana tidak jelas sebenarnya driver-nya ada di mana. Mungkin itu yang dihadapi Dirut-Dirut sebelumnya, karena ketidakjelasan status di bawah siapa. Kemudian juga tidak ada kejelasan anggaran.

Kalau dulu kan enak, di bawah Departemen Penerangan ada APBN. Nah begitu menjadi BUMN kan semuanya harus…, bukannya tergantung pada APBN, tapi kalau bisa malah memberikan kontribusi, keuntungan pada negara.

Jadi selama itu 20 tahun PFN hanya diam, arahnya belum tahu mau kemana?

Iya diam. Apalagi migrasi, dulu kan kita punya banyak peralatan dari segi infrastruktur. Dulu kita punya laboratorium celluloid, begitu migrasi ke digital kan habis nggak dipakai. Peralatannya masih analog semua.

Ini sebenarnya butuh investasi. Nah kita sih berharap ke depan ada semacam perhatian dari pemerintah juga untuk melihat soal ini.

Apa PFN nggak dapat bantuan seperti PMN?

Setahu saya belum pernah. Terakhir PMN itu tahun 2005 kalau nggak salah. 14 tahun yang lalu. Nah belakangan ini memang itu yang jadi concern kami juga, untuk membenahi sebuah perusahaan ini. Apalagi tadi disinggung hanya mungkin generasi 40 tahun ke atas yang paham PFN.

Artinya kita butuh strategi bagaimana memperkenalkan kembali PFN, katakanlah ke generasi yang lebih baru. Nah kita lakukan walaupun belum maksimal. Dan itu kan butuh dana besar juga.

Tahun sebelumnya, pada 2017, kita sudah launching Petualangan Si Unyil, di Trans. Itu Unyil tetap memakai brand Unyil, tapi dengan cita rasa kekinian, 3D. Itu sudah lumayan lah, walaupun belum sepenuhnya. Nah saya kira, persoalannya mungkin pada pemahaman mengenai betapa strategisnya industri film ini ke depan. Ini yang belum banyak dipahami oleh pengambil kebijakan, sehingga kami belum dapat kemewahan mengajukan kembali penyertaan modal negara.

Tapi sudah pernah ada upaya mengajukan langsung PMN?

Sudah, sudah.

Apa kata pemerintah?

Belum dapat giliran saja. Jadi sebenarnya kita begini, PFN mengajukan diri ke Kementerian BUMN, Kementerian BUMN mengajukan ke Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan ke DPR. Ya kita belum pernah sampai ke situ. Tapi kita coba terus.

Kebijakannya memang begini, kebijakannya sebisa mungkin tidak mengandalkan pada PMN.

Dulu juga sempat dikabarkan PFN ingin dilikuidasi?

Kalau hari ini sih Anda tanya, mungkin sekarang jauh lebih ringan ketimbang dulu. Karena utang-utang kita juga mulai kita bereskan kan pelan-pelan. Terutama pajak-pajak yang belum dibayarkan segala macam. Piutang juga dibereskan segala macam.

Intinya kalau mau dibangun lagi PFN, diupayakan diutamakan adalah sinergi BUMN, bukan PMN-nya.

Memang seperti apa sinergi BUMN yang dilakukan PFN?

Nah ini alhamdulilahnya kebangkitan PFN ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dari Bu Menteri BUMN Rini Soemarno sendiri, bagaimana dia menekankan sinergi antar BUMN. Nah nggak gampang sebenarnya, karena sudah lama nggak berproduksi, ketika kita bertemu dengan BUMN lain juga pertanyaannya sama kurang lebih. ‘Bisa bikin apa PFN ini?’ karena kita nggak punya portofolio untuk itu.

Tapi karena kita didorong terus oleh Bu Menteri, alhamdulillah film ini sebenarnya wujud nyata dari sinergi itu terjadi. Karena ada investasi dari sesama BUMN maupun dukungan sponsorship dari banyak BUMN.

Nah kita sih berharap ini akan makin kuat dukungannya sinergi ini, sejalan dengan apa yang bisa dibuktikan oleh PFN sendiri. Kalau PFN sudah bisa memproduksi film dengan kualitas seperti yang kemarin kita rilis. Artinya kita berharap ada trust yang lebih besar kepada kita sehingga kita bisa lebih mudah.

Jadi semua itu dilakukan dengan mengandalkan sinergi BUMN?

Sinergi BUMN ini sendiri sifatnya memang bukan peraturan ya, tapi imbauan, dorongan. Ya ini untuk membenahi infrastruktur saja kan didorong oleh BUMN, pembicaraannya sebenarnya sudah sangat panjang dari tahun lalu. Kan menyusun feasibility study dulu, melihat lagi bisnis plannya, semacamnya. Ya kita sih berharap tahun ini sudah ada penandatanganan kerja sama untuk membangun komplek ini.

Produksi film (juga sedang) jalan, karena ini dengan Petrokimia. Yang sekarang belum banyak tapi ada pembicaraan dengan Petrokimia, Jasa Marga. Jadi modelnya kita presentasi di hadapan BUMN-BUMN, kita mau garap ini, mana yang mau kontribusi. Sejauh ini hanya lisan, tapi sudah banyak.

Berbicara soal kemampuan, memang bagaimana kondisi keuangan PFN sekarang ini?

Nah alhamdulillah ya, 2016 itu kita masih masuk daftar BUMN rugi. 2017-2018 kita sudah keluar dari daftar itu, walaupun marginnya masih kecil.

Berapa angkanya?

Angkanya untuk revenue tahun lalu kita baru nyampe sekitar Rp 26 miliar ya. Diharapkan tahun ini kita bisa mencapai Rp 48 miliar. Itu revenue ya, belum margin.

Itu berkat apa bisa keluar dari daftar BUMN rugi, apa yang mendongkrak?

Ya sinergi antar BUMN. Klien kita adalah BUMN sebenarnya. Ya kan kita bukan hanya bikin film bioskop, banyak services yang terkait audiovisual, ya dokumenter, ya company profile, ya commercial, itu ke PFN.

Untuk produksi film bagaimana dampaknya ke keuangan?

Iya otomatis, dengan dukungan sponsor dan investasi, otomatis itu menaikkan performance kita. Nah kalau masih dibatasi hanya services saja, itu besar, tapi juga harusnya dengan film bioskop harusnya kita jauh lebih punya kemungkinan untuk meraup keuntungan yang lebih besar.

Perbandingan produksi film dengan services?

Kalau film kan baru 1 film. Itu komponennya masih kecil, 20% lah, 80% kita hidup dari services, melayani.

Berbicara industri film, bagaimana persaingannya sendiri?

Ini juga menarik ya. Ke depan kan sebetulnya kalau kita bicara film, tidak lagi sekadar bicara bioskop. Zaman ini dengan perkembangan digital, apa yang disebut screen culture itu kan sudah merambah ke berbagai medium, terutama gadget. Ini sebenarnya transformasi ini harus jadi perhatian PFN ke depan. Nah balik lagi, pembangunan SDM dan infrastruktur juga dibutuhkan.

Kalau ini jalan, saya kira ini industri yang besar sekali ke depan. Cuma memang lagi-lagi balik lagi, apakah para pengambil kebijakan sudah mulai melihat itu dengan perspektif yang jauh lebih komprehensif, karena selama ini kan yang namanya industri kreatif dan industri perfilman masih secara, ini dibicarakan terus, tapi belum ada kebijakan yang jauh lebih konkrit untuk mendukung, terutama dari segi permodalan.

Contoh screen culture yang disebut bapak itu apa?

Artinya bisnis ini juga harus ditengok, sebelum kita juga digulung oleh kekuatan-kekuatan asing. Sekarang kan Netflix sudah masuk, kemudian segala macam. Ya jadi kita harus kaji apakah kita perlu membangun platform semacam ini, atau memang kita perbanyak di contentnya, produksinya. Jadi dua hal ini harus dikaji terus.

Bioskop juga jadi soal. Kalau kita lihat bioskop sekarang ini masih di bawah 2.000 layar di seluruh Indonesia. Dan paling banyak di Jabodetabek, hampir 60%. Nah Indonesia ini kan luasnya luar biasa, jumlah kabupaten kotanya saja ada 515. Kalau 1 kabupaten butuh 10 bioskop kan artinya kita butuh 5.000 layar. Sekarang baru 2.000.

Nah ini kan sebetulnya sebuah outlet atau exhibitor ini, sebuah oportunity bisnis yang belum digarap maksimal.

Jadi PFN mau membangun jaringan bioskop?

Iya kalau perlu. Harus ada jaringan bioskop baru. Selama ini kan baru XXI, Cinemax, CGV. Tiga itu saja digabungin masih di bawah 2.000. Artinya kan ini balik lagi soal akses. Akses warga negara Indonesia terhadap tontonan juga harus diperhatikan.

Kalau selama ini terkonsentrasi di kota-kota besar. Kalau kita masuk ke jaringan ke tingkat kecamatan saja, satu kecamatan satu bioskop saja, ini paling nggak jumlahnya sekitar 6.300-an kita butuh.

Dan itu bakal bisa mendongkrak industri film?

Nah di sini sebenarnya apa yang terjadi hari ini, sebenarnya belum menunjukkan potensi film Indonesia sesungguhnya karena keterbatasan layar. Sekarang kalau kita lihat angka box office terbesar saat ini dipegang Dilan, 7 juta penonton. 7 juta itu kalau dibandingkan dengan populasi kita 250 juta, kecil itu.

Kita masih kalah dan tertekan dari film luar ya?

Artinya PFN juga harus memikirkan celah itu, dia hadir dalam industri ini kemudian coba lihat peta industrinya seperti apa, cela-celah apa yang sebenarnya butuh diintervensi. Sehingga itu mestinya jauh lebih sehat. Kalau sekarang nggak sehat, kita berebut layar dengan bioskop.

Seperti apa perbandingan untuk penonton film nasional dengan luar?

Memang tidak ada data untuk itu. Selama ini datanya terbatas dari bioskop. Ya memang Bekraf kemarin, tahun lalu mengeluarkan laporan bahwa tiket terjual untuk film Indonesia sekitar 42 tiket. Tahun lalu, untuk seluruh Indonesia. Ini kan angka yang sangat besar, itu baru di angka di bawah 2.000 layar. Bayangkan kalau ditambah lebih besar. Ya bandingannya Korea, China, saja sudah sampai puluhan ribu layar.

Dengan jumlah penduduk kita sekarang, berapa idealnya jumlah tiket itu?

Ya sekarang kalau 250 juta penduduk, katakanlah saya kira si yang ideal di angka 5.000-10.000 layar.

Bagaimana kontribusinya ke ekonomi nasional?

Nah sekarang kan problemnya kita belum lihat juga nih angka produksinya naik terus, pertumbuhan layarnya terbatas, lama-lama kan bottleneck juga. Belum adanya persaingan dengan film luar. Jadi saya sih melihat bahwa ini masa depannya luar biasa, cuma kalau nggak segera dibenahi sekarang, nanti backfire juga, gitu.

Belum lagi infrastruktur lain, studio post production juga terbatas. Mixing audio terbatas, studio terbatas, Trans saja studionya, kebutuhan tv saja sudah gila-gilaan.

Jadi saya kira memang negara atau pemerintah ini harus melihat ini bisnis yang strategis, sehingga sebagai BUMN kita ada semacam perhatian untuk segera membantu PFN untuk lebih cepat, dengan PMN saya kira dia bisa lebih cepat lepas landasnya.

PFN dulu identik dengan karakter Unyil. Bagaimana kabarnya sekarang?

Unyil ini kita sinergi dengan Telkom. Petualangan Si Unyil ini baru season satu di Trans setiap hari striping. Ini mau masuk tahun ke dua. Kita lagi perencanaan untuk produksi season 2. Karena animasi lebih kompleks produksinya. Season kedua ini harusnya kita mulai tahun ini.

Susahnya apa bangun karakter Si Unyil ini?

Kalau dulu sih boomingnya pertama karena saluran tv-nya cuma sedikit, cuma TVRI, dan itu wajib putar. Kalau sekarang kan banyak.

Kalau sekarang dengan makin banyaknya animasi-animasi dari berbagai mancanegara, termasuk juga Malaysia dengan Upin-Ipin, kan sudah ada benchmark, kalau Unyil masuk pakai cara lama kan nggak relevan dong. Artinya kesulitannya mengubah, mentransformasi Unyil jadi relevan hari ini.

Melihat perkembangan pasar ke depan, genre film apa yang kira-kira bakal diminati?

Saya kira gini, ini pertanyaan bagus, karena sekarang kan ada semacam apa ya, makin hari film Indonesia makin seragam. Kalau nggak horor, remaja, nah ini yang juga jadi perhatian kita bagaimana kita mulai memperkaya tema film juga.

Film anak-anak itu sebenarnya itu film yang paling besar pangsanya, cuma masih sedikit diproduksi.

Nggak khawatir nggak laku kalau produksi film anak-anak?

Memang, memang, sekarang ini masih tengah lah. Sekarang ini masih film remaja dan horor ya. Nah, tapi tetap harus ada film tentang keluarga, kenapa tema film kita juga kemarin juga sebenarnya nggak semata-mata film percintaan, tapi lebih kepada keluarga.

Film anak-anak perlu karena pasarnya besar sebenarnya. Kalau film anak ini kan intinya anak nggak mungkin jalan sendiri ke bioskop, bapak ibunya mesti nonton, kakek neneknya mungkin nonton. Sukses keluarga cemara kemarin dengan satu koma sekian juta itu sebenarnya indikasi kalau filmnya dibuat dengan baik, saya kira dengan promosi yang baik, film anak-anak juga punya peluang.

Tahun 90-an seperti jadi masa keemasan untuk film anak, apa bisa menghidupkan lagi ke masa itu?

Saya kira genre ini masih punya peluang besar ya, cuma belum digarap secara optimum saja. Kan film itu bukan hanya sekadar filmnya sebenarnya, bukan kualitas film saja yang berpengaruh, tapi bagaimana dipromosikan, itu jauh lebih penting sekarang.

Nah artinya dengan pemilihan cerita yang tepat, ini kira-kira juga kan kita membuat cerita anak juga film yang sebenarnya yang tidak terlalu kanak-kanak isinya. Visi orang dewasa yang dicangkokkan pada anak-anak. Memang kita butuh cerita-cerita yang kuat dan khazanah cerita Indonesia kan banyak, berbasis tradisi segala macam.

Kaya kita lihat Moana, Moana itu kan berangkat dari tradisi juga. Nah kita belum ada.

Kita harus punya laboratorium untuk menggarap cerita yang jauh lebih relevan lah kalau sekarang. Susah, misalnya kalau ngangkat Unyil tetap dengan format dulu, ya sekarang mana ada yang mau nonton. Ini generasi yang berbeda sama sekali, di mana teknologi sudah jadi makanan sehari-hari. Sehingga filmnya juga harus jauh lebih teknologis sifatnya.

Apa harus menciptakan karakter baru yang ikonik, mungkin seperti Unyil?

Strateginya tetap 2, pertama ya menciptakan karakter baru, oke, is fine. Atau menggunakan karakter yang secara kolektif memori orang masih sangat kuat.

Karena kalau kita lihat kan banyak sekali film-film Indonesia yang berhasil karena menggunakan ide lama,yang dihidupkan lagi. Kemarin tuh ada Wiro Sableng, keluarga cemara.

jadi tetap 2 itu, menciptakan perlu, tapi juga menggarap apa yang kita punya ini…, Gundala mau muncul, lalu Si Buta dari Gua Hantu juga mau muncul, dan segala macamnya. Jadi memang saya kira penting juga menghidupkan karakter-karakter khazanah kita.

Jadi pasarnya masih besar?

Masih-masih sangat besar.

Jadi PFN punya rencana seperti itu depan?

iya. Misalnya gini, kami ini kan kerja sama dengan Balai Pustaka. Balai Pustaka ini kan juga BUMN. Sebagai gudangnya cerita, sebenarnya kan dia juga punya banyak buku-buku, atau kisah-kisah yang bisa diangkat.

Tapi jebakannya di sini, kalau masih pakai kerangka lama, atau perspektif lama dalam menggarap cerita ini, ditanggung gagal. Harus ada keberanian untuk menginterpretasi ulang sesuai dengan konteks zamannya yang berubah juga.

Komik kita juga kaya sekali, dengan keberhasilan Avenger segala macam itu kan juga sebenarnya mengilhami apa yang terjadi di sini. Cuma memang itu balik lagi, anak sekarang itu lebih kritis dalam menerima tontonan, kalau salah-salah malah nggak berhasil.

Ada rencana untuk produksi film lagi dalam waktu dekat?

Nah intinya kan begini, intinya ini ada soal lagi, ke depan, kita memang harus memutuskan untuk memproduksi film sendiri seperti yang kita lakukan kemarin, atau kemudian sudah mulai naik level lagi untuk jadi sesama company yang juga melakukan investmen di produksi.

Kan teman-teman produser film Indonesia juga masih kesulitan untuk mencari investor. Nah kita membuka peluang untuk kerja sama dengan produser-produser lain dalam rangka memproduksi. Nah investasinya bisa kita cari bersama.

Tahun ini saja kita sedang bersiap paling tidak tiga film lagi yang kita sedang develop. Itu tahun ini. Mulai prosesnya baru tahun ini. Tahun depan, minimal dua film sudah bisa tayang.

Tantangan PFN ke depan untuk hidupkan industri film?

Ada tiga hal, pertama situasi permodalan harus diselesaikan dalam rangka membangun infrastruktur buat dirinya. Yang kedua tantangan perubahan, dengan teknologi ini perubahan, kecenderungan konsumen yang harus dibaca betul.

Zaman sudah berubah, kita harus benar-benar punya kemampuan membaca pasar yang baik. Kemudian juga melakukan semacam produksi yang relevan dengan konteks haru ini, kalau nggak susah betul.

Sumber daya manusia juga, rekrutmen akan terus dijalankan. Sejauh kita mampu, kemudian menyelesaikan soal-soal yang menyangkut pembangunan infrastruktur dan SDM saya kira arahnya semua ke budget, anggaran. Kalau itu selesai kita jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *