SOENMANDJAJA URAI MAKNA 4 PILAR MPR RI

inionline.id –  Sebagai anggota MPR, dan wakil ketua Badan Pengkajian dan Ketatanegaraan MPR RI Soenmandjaja kembali melaksanakan tugas rutinnya, yakni menggelar Sosialisasi 4 Pilar di Dapilnya.

Kini anggota Komisi III DPR RI yang juga anggota MKD DPR RI itu kembali menggelar acara Sosialisasi 4 Pilar MPR di Desa Waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, tepatnya di majelis taklim Nurul Aliyah pada 19/11 yang lalu di hadapan ibu-ibu majelis taklim, para pemuda, warga masyarakat dan beberapa tokoh masyarakat. Acara yang juga dihadiri oleh Kades Waru Jaya tersebut dipandu oleh Atma, Sekretaris MUI Kecamatan Parung.

Sebelum memulai acara Soenmandjaja mengingatkan kepada seluruh hadirin agar serius dan sungguh-sungguh mengikuti acara ini. “Acara ini sangat penting, karenanya kita harus seserius mungkin mengikuti acara ini sampai selesai,” ujar Soenman dengan penuh semangat.

Pertama, Soenmandjaja mengingatkan makna Pancasila yang merupakan hasil penggalian yang cukup lama dari para pendiri bangsa ini. Pancasila merupakan cerminan bangsa Indonesia yang sangat heterogen dan sangat majemuk. “Pancasila merupakan cerminan bangsa Indonesia yang sangat besar yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat-istiadat, bahasa dan agama,” ujar lekaki lulusan Fakultas Hukum UIKA Bogor tersebut. Pancasila merupakan hasil pemikiran dan renungan yang sangat panjang para pendiri bangsa kita. Mereka berfikir keras di atas landasan apakah kelak bangsa Indonesia ini didirikan. Para tokoh bangsa seperti Bung Karno, Prof Soepomo, Muhammad Yamin dan para tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, ketua PP Muhammadiyah kala itu bersama-sama memberikan sumbangan pemikirannya. Maka terbentuklah BPUPKI, yang kelak dari hasil sidang-sidangnya melahirkan Pancasila, yang kita saksikan hingga hari ini.

 

Kedua, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “Demikian ia harus dalafalkan. Tidak boleh disingkat. Harus utuh penyebutannya”, ujar lelaki yang terlibat dalam amandemen pertama Undang-Undang Dasar pada 1999 di era reformasi itu. Ia adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena kondisi tertentu pada 27 Desember 1949 Indonesia memberlakukan Konstitusi RIS, dan pada 17 Agustus 1950 berubah lagi, Indonesia kemudian memberlakukan UUDS 1950. Akhirnya, Dekrit Presiden 5 Juli1959 kembali memberlakukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu tahun 1999-2002, Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Indonesia menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 merupakan negara kesatuan berbentuk republik dengan sistem desentralisasi, di mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya di luar bidang pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Ia merupakan bentuk yang paling ideal untuk bangsa Indonesia. Indonesia pernah dieksperimen dengan Republik Indonesia Serikat, federal namun gagal. Hanya dengan NKRI persatuan Indonesia bisa diwujudkan, karena sistem pemerintahan desentralisasi menjamin keefektifan jalannya pemerintahan dan kontroling terhadap bangsa –dalam hal ini daerah– yang sangat besar dan luas ini.

Keempat, Bhinneka Tunggal Ika. “Indonesia adalah bangsa yang besar dan luas wawasannya, ” ujar lelaki yang pernah menjadi nara sumber 4 Pilar di Lemhanas itu. Terbukti, sejak zaman Majapahit, bangsa ini sudah mengenal Bhinneka Tunggal Ika. “Kalimat Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam buku Sutasoma, karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14, “jelas wakil ketua FPKS MPR RI itu. Walau dalam buku Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan dan keanekaragam agama, namun itu sudah cukup memadai bahwa kesadaran berbhinneka Bangsa Indonesia sudah muncul sejak abad 14. “Sungguh sebuah kekaguman tersendiri buat Bangsa Indonesia,” pungkas Soenman sebelum menyudahi acara Sosialisasinya di Kecamatan Parung itu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *