Tingkat Kemiskinan RI Kembali ke Era SBY Setelah Dua Bulan Corona

Ekonomi157 views
Inionline.id – Tingkat kemiskinan Indonesia berpotensi kembali ke level 12 persen. Angka ini sama persis dengan kondisi tahun 2011 silam ketika zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pandemi virus corona yang berlangsung sekitar dua bulan membuat tingkat kemiskinan kembali mendaki.

“Covid-19 pada Maret sampai Mei sudah menyebabkan lonjakan angka kemiskinan. Bayangkan Covid-19 hanya beberapa bulan, pencapaian penurunan kemiskinan dari 2011 ke 2020 ini mengalami reverse kembali,” ujar Ani, sapaan akrabnya, saat rapat virtual dengan Komisi XI DPR, Rabu (6/5).

Sayangnya, Ani belum bisa mengungkap berapa data peningkatan jumlah penduduk miskin yang sudah berhasil didapat pemerintah. Begitu pula dengan estimasi tingkat kemiskinan ke depan.

Hanya saja merujuk pada pernyataannya, maka tingkat kemiskinan bisa kembali ke kisaran 29 juta sampai 30 juta orang atau sekitar 12 persen dari total populasi penduduk Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total populasi Indonesia.

Pada September 2011, jumlah penduduk miskin sekitar 29,89 juta orang atau 12,49 persen. Sementara pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,14 juta orang atau 9,41 persen dari total populasi.

Jumlah penduduk miskin kemudian turun lagi pada September 2019 menjadi 24,79 juta orang atau 9,22 persen dari total populasi. Sedangkan kasus positif virus corona perdana di Tanah Air diumumkan pada Maret 2020.

Bahkan, dengan pandemi corona bukan tidak mungkin semakin memperlebar jurang pendapatan antara si kaya dan si miskin alias gini ratio. Ani melihat pandemi corona sangat memukul 40 persen sampai 50 persen masyarakat berpendapatan paling rendah.

Sementara sekitar 30 persen masyarakat dengan pendapatan tertinggi akan mengalami konsolidasi. “Jadi Covid-19 ini tidak ada diskriminasi, orang kaya, orang miskin, terpelajar, tidak terpelajar, semua kena Covid. Jadi gini ratio mungkin terdampak,” ucapnya.

Lebih lanjut, peningkatan jumlah penduduk miskin dan gini ratio terjadi karena masyarakat kehilangan pekerjaan. Mulai dari yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga tak bisa melanjutkan usaha yang sudah dibangun.

“Data Kementerian Ketenagakerjaan, angka pengangguran melonjak 2 juta hanya dalam 1,5 bulan,” katanya.

Atas semua bayang-bayang ini, sambung Ani, pemerintah pun mau tidak mau harus memberikan insentif kepada dunia usaha. Tujuannya, agar perusahaan tidak melakukan pemotongan gaji hingga PHK karyawan.

Kebijakan ini, katanya, kerap diambil oleh negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat, negara di kawasan Uni Eropa, hingga sesama negara di Asia. Masalahnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mencukupi.

“Untuk negara yang relatif kaya ini bisa, Singapura misalnya bayar gaji ke perusahaan asal tidak PHK. Tapi kemampuan APBN untuk menanggung semua itu terbatas,” tuturnya.

Pemerintah pun saat ini, sambung Ani, hanya mampu membendung gelombang PHK dengan program Kartu Prakerja. Program ini memungkinkan korban PHK menjadi peserta yang menerima insentif.

Insentif yang disiapkan, yaitu biaya pelatihan sebesar Rp1 juta. Lalu, biaya insentif Rp600 ribu per bulan per peserta selama tiga bulan dan Rp50 ribu per survei untuk tiga kali pengisian, sehingga totalnya Rp3,55 juta per peserta.

Sayangnya, program ini tengah menuai kritik dari banyak pihak karena dianggap tidak cukup mumpuni untuk menyelesaikan masalah tingginya tingkat PHK di tengah pandemi corona. Selain itu, ada unsur kepentingan di pelaksanaan program.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *