TII Soroti Booster Vaksin Ilegal Dipicu oleh Tata Kelola yang Tak Transparan

Inionline.id – Transparency International Indonesia (TII) menyoroti temuan munculnya sindikat pelaksana vaksinasi Covid-19 dosis ketiga atau booster secara ilegal di Surabaya, Jawa Timur (Jatim).

Temuan ini, kata mereka, memunculkan dua dugaan. Yang pertama yakni soal buruknya sistem tata kelola pemerintah soal vaksinasi, serta yang kedua adalah tentang celah potensi korupsi dalam program vaksinasi.

“Ini akibat dari tata kelola distribusi yang kurang transparan,” kata Peneliti TII Agus Sarwono, Senin (3/1).

Agus menyebut berdasarkan catatan TII, sejak akhir 2020 sampai dengan 20 Desember 2021, ada 412 juta dosis vaksin yang tiba di Indonesia. Mulai dari vaksin jadi hingga bahan bakunya.

Vaksin-vaksin yang tiba dan didistribusikan ke daerah-daerah itu diduga tak dicatatkan oleh pemerintah secara detail dan transparan.

“Di dashboard vaksin sudah tersedia stok vaksin basis provinsi dan kabupaten, tapi kami tidak mendapatkan informasi secara detail,” ujar dia.

Dia merinci informasi detail yang diharapkan itu adalah soal pencatatan berapa vaksin yang diterima, kemudian yang didistribusi, yang sudah disalurkan ke masyarakat dan berapa sisanya. Hal itulah, sambungnya, yang tak ditunjukkan pemerintah kepada publik.

“Berapa jumlah yang tiba, yang terdistribusi ke fasilitas kesehatan layanan vaksinasi dan berapa banyak yang sudah diimplementasikan,” ujar Agus.

Informasi yang tidak dibuka secara utuh tersebut, kata dia, bisa mengakibatkan kebocoran vaksin hingga berpotensi terjadinya praktik jual beli.

“Proses distribusi dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi kemudian kabupaten/kota, celah itu, celah kekosongan informasi bisa dimanfaatkan untuk jual beli vaksin,” ujar dia.

Berikutnya adalah potensi risiko korupsi dalam program vaksinasi yang bisa sangat besar terjadi. Mulai dari tahapan pengadaan sampai distribusi.

“Risiko korupsi dalam program vaksinasi sangat besar, dari mulai tahap pengadaan sampai tahap distribusi,” kata dia.

Ia menduga jual beli ini melibatkan tindak penyelewengan petugas ataupun aparat. Sebab, jika tidak, dari mana sindikat di Surabaya ini bisa mendapatkan vaksin untuk dijual.

“Dari mana dia dapat vaksin itu, kan tidak mungkin tidak melibatkan pejabat, tidak mungkin ujug-ujug vaksin datang. Sementara kita tahu persis bahwa distribusi vaksin dari pusat ke daerah,” ucapnya.

“Saya sangat yakin yang terjadi di Surabaya diduga melibatkan aparat sipil ataupun yang lainnya,” lanjut Agus.

Ia mencontohkan kasus jual beli vaksin yang sudah pernah terjadi dan terbongkar di Sumatera Utara. Kasus itu melibatkan dokter dan tiga orang PNS di Sumut.

“Vaksin adakah barang publik yang dibeli dari pajak negara, sehingga tidak boleh diperjualbelikan,” kata Agus.

Sebelumnya, sindikat pelaksana vaksinasi dosis ketiga atau booster berbayar muncul di Kota Surabaya. Praktik ini diduga kuat ilegal, sebab mendahului rencana pemerintah yang baru akan menggelar program vaksinasi booster bagi masyarakat umum pada 2022.

Budiman (bukan nama sebenarnya), seorang warga Surabaya, rela membayar biaya sebesar Rp250 ribu demi mendapatkan injeksi vaksin berjenis Sinovac untuk yang ketiga kalinya.

Praktik lancung ini diduga dilakukan sepanjang November – Desember 2021, di sejumlah tempat di Surabaya. Vaksin yang dijual dan disuntikkan pun berjenis Sinovac.

Kabid Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K. Ginting menduga pelaku penyuntikan vaksin dosis ketiga alias booster ilegal di Surabaya menggunakan vaksin sisa. Hal itu memungkinkan sebab di hari tertentu vaksin yang disiapkan lebih banyak dibandingkan jumlah orang yang disuntik.

“Biasanya sisa. Satu botol kan ada 10 orang. Begitu dibuka mungkin yang disuntik 8. Dari 2 sisaan itu,” ucap Alex, Senin (3/1).

Mabes Polri pun akan mendalami dugaan kasus vaksin ilegal tersebut karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) baru akan memulai pemberian booster ke masyarakat umum pada Januari 2022.