Pertama di Ponorogo, Puluhan Siswa Membayar SPP Sekolah Pakai Kotoran Sapi

Antar Daerah057 views

Inionline.id – Puluhan anak di Ponorogo kembali mengenyam pendidikan setelah 5 tahun putus sekolah. Tapi mereka tidak membayar uang sekolah. Mereka hanya diwajibkan membawa kotoran sapi. Lho, kok bisa?

Ya, mereka wajib membawa kotoran sapi tiap bulan sebagai uang sekolah. Tujuannya, membantu mengurangi pencemaran lingkungan karena biasanya kotoran sapi langsung dibuang ke sungai. Ini dilakukan untuk memberi pendidikan kepada para siswa bagaimana mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik.

Jumlah siswa yang wajib membawa kotoran sapi tiap bulan sebagai uang sekolah itu sebanyak 44 anak.

Salah satu siswa, Agung Cahaya Ilham (19) warga Desa Pudak Wetan, Kecamatan Pudak mengaku terbantu dengan adanya SMK 1 Pemda Ponorogo di Pudak. Selain sekolah gratis, bayar SPP pakai kotoran sapi. Pun juga jam masuk sekolahnya mulai pukul 12.00 WIB hingga 16.00 WIB.

“Kalau pagi saya memberi makan sapi dan membersihkan kandang, sore saya cari rumput. Siang bisa sekolah,” tutur Agung yang saat ini memelihara 19 ekor sapi kepada detikcom, Jumat (1/10/2021).

Pudak dikenal sebagai sentra produksi susu sapi. Tak heran jika warganya disibukkan dengan memelihara sapi. Pun juga karena lokasinya yang berada di pegunungan ujung timur kota. Membuat akses sekolah jadi hambatan bagi warga setempat. Tidak tersedianya SMA atau SMK membuat para siswa enggan melanjutkan sekolah.

“Sejak 4 tahun lalu, setamat SMP belum lanjut sekolah. Karena sekolahnya jauh dan tidak bisa diselingi memelihara sapi,” terang Agung.

Sementara Ketua Yayasan Kuantum Ikhlas Foundation Imam Subaweh mengatakan berdirinya sekolah ini didasari karena belum ada SMA atau SMK di Kecamatan Pudak. Pun juga banyaknya kotoran sapi yang mencemari sungai. Bahkan per hari mencapai 140 ton kotoran dari 1.700 ekor sapi dibuang ke sungai.

“Basic pendidikan di sini rendah karena kondisi alam dan kesibukan merawat sapi serta akses ke sekolah jauh. Akhirnya kami himpun ada 44 siswa yang putus sekolah,” ujar Baweh.

Menurutnya, sekolah tersebut tidak seperti pada umumnya. Terkadang lokasi belajar di dekat pengolahan limbah kotoran sapi serta kadang di kelas. Siswanya pun ada yang memakai seragam, ada yang tidak. Ada yang bersepatu dan ada yang memakai sandal.

“Siswa di sini diajari langsung bagaimana mengolah kotoran sapi jadi pupuk organik, hasilnya nanti untuk menggaji para guru,” imbuh Baweh.