RI Butuh Rp3.830 T untuk Menekan Emisi Karbon hingga 2030

Ekonomi057 views

Inionline.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan Indonesia perlu dana mencapai US$266 miliar atau setara Rp3.830,4 triliun (kurs Rp14.400 per dolar AS) sampai 2030 untuk mengurangi emisi karbon. Pengurangan emisi karbon tersebut sejalan dengan target nol emisi pada 2060.

Jumlah ini meningkat dari kajian sebelumnya sekitar US$247,3 miliar atau Rp3.561,12 triliun untuk mengurangi 1,08 miliar ton karbon.

“Bahkan hingga 2030, biaya yang diperlukan bisa mencapai US$266 miliar,” ungkap Ani, sapaan akrabnya di acara Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) 2021, Kamis (26/8).

Kebutuhan dana ini, sambungnya, tentu tidak bisa ditutup oleh pemerintah saja melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, pemerintah hanya bisa memberikan alokasi dana sekitar 4,1 persen dari total APBN untuk penanganan perubahan iklim sepanjang 2016-2020.

Bila dipukul rata, maka alokasi APBN untuk perubahan iklim hanya sekitar 0,82 persen dari total. Asumsinya, misal belanja APBN mencapai Rp2.000 triliun, maka alokasi dana untuk perubahan iklim hanya Rp16,4 triliun, sehingga masih jauh dari kebutuhan.

“Artinya, kita perlu memobilisasi dana yang berasal dari swasta domestik dan global. Kita perlu memformulasikan kebijakan di bidang iklim investasi yang mampu menarik lebih banyak investasi untuk sektor energi, transportasi, limbah, dan kehutanan, sehingga bisa memenuhi target penurunan CO2,” jelasnya.

Untuk itu, sambungnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar iklim investasi di Indonesia lebih kondusif dan bisa menarik investasi dengan birokrasi perizinan yang tidak rumit. Di sisi lain, pemerintah juga sudah mulai membangun industri energi hijau untuk turut mengurangi emisi karbon.

Di sisi lain, pemerintah turut memetakan strategi dan target penurunan emisi karbon di berbagai sektor. Misalnya, emisi karbon di sektor kehutanan ditargetkan turun 17 persen, energi 11 persen, limbah 0,38 persen, pertanian 0,32 persen, dan industri 0,1 persen.

Menurut Ani, penurunan emisi karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim sangat diperlukan. Sebab, berbagai kajian mencatat bahwa suhu bumi sudah memanas sekitar 1,1 derajat Celcius sejak era revolusi industri.

“Dunia seharusnya menghindarkan agar penghangatan bumi tidak mencapai 1,5 derajat Celcius yang memberikan implikasi luar biasa yang disebut fenomena perubahan iklim,” katanya.

Pasalnya, bila suhu bumi terus meningkat dan perubahan iklim tidak terbendung, maka dampak negatifnya akan dirasakan oleh masyarakat di seluruh penjuru dunia.

“Ancaman perubahan iklim yang sangat nyata, yaitu kenaikan temperatur akan bisa membuat 1,5 miliar pekerja terpengaruh,” ucapnya.

Masalahnya, tidak semua negara siap menghadapi ini. Kondisi ini, menurut Ani, sama seperti bagaimana negara-negara di dunia menghadapi pandemi covid-19 dengan kapasitas fiskal yang berbeda-beda di masing-masing negara.

“Tentu negara yang tidak mampu akan memiliki konsekuensi yang jauh lebih parah, sama seperti covid-19. Negara yang tidak mampu mendapatkan vaksin, tidak punya sistem kesehatan yang bagus, maka dampaknya bagi masyarakat akan jauh lebih parah, demikian dengan perubahan iklim,” pungkasnya.