Epidemiolog Unair Meminta Nadiem Makarim Tinjau Ulang Sekolah Tatap Muka

Pendidikan157 views

Inionline.id – Pakar epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Windhu Purnomo, dr., MS., mengatakan, bahwa kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas baiknya ditinjau ulang. Hal itu karena saat PTM dibuka akan ada mobilitas tinggi yang dilakukan oleh para siswa.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim menyatakan bahwa PTM Terbatas akan dimulai pada Juli 2021. Hanya saja, sampai saat ini angka konfirmasi positif covid-19 terus melonjak di beberapa daerah.

Mobilitas yang tidak terkontrol tersebut dapat menyebabkan risiko tinggi tertular virus.  “Jadi kalau kita nekat melakukan pembukaan PTM, kita memang sengaja membuat para siswa bergerak ke sekolah. Kemudian di sekolah berinteraksi dengan orang lain dan yang paling berbahaya ketika di perjalanan dari rumah ke sekolah kemudian pulang dari sekolah menuju rumah. Yang berbahaya itu justru berisiko tinggi,” jelas Windhu dikutip dari laman UNAIR, Jumat, 18 Juni 2021.

Ketua Tim Advokasi PSBB and Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR ini mengungkapkan bahwa kegiatan siswa yang bergerombol juga memiliki risiko. Seperti kebiasaan siswa yang sering pulang berbondong-bondong dan beramai-ramai singgah ke suatu tempat menyebabkan riskan tertular virus.

Terutama bagi siswa yang menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi.  Bagi Windhu, PTM bukan sekadar anak-anak dan sekolah, melainkan juga mobilitas anak di luar sekolah. Serta, menyangkut tentang imunitas anak dan lingkungan sekitar.

“Anak-anak usia di bawah 18 tahun itu relatif imunitasnya baik. Kecuali mereka punya komorbid itu yang bisa meninggal ketika dia tertular yang punya kelainan bawaan saat lahir dan seterusnya,” terangnya.

Windhu menjelaskan, bahwa secara umum anak-anak lebih sehat, karena daya tahan tubuhnya yang masih bagus di usia muda. Jika pun tertular, biasanya hanya sakit ringan atau tanpa gejala.

“Tapi dia membawa virusnya pulang ke rumah, padahal yang ada di rumah mungkin ada bapak-ibunya atau kakek-neneknya yang umurnya sudah di atas 60 tahun, mungkin ada kerabatnya atau kakaknya yang komorbid,” jelasnya.

Windhu menegaskan jika ingin membuka PTM harus melihat kondisi epidemiologi, bukan melihat peta risiko yang ada. Pasalnya, peta risiko yang ada selama ini hanya mendata seperdelapan data dari keseluruhan data yang ada.

Adapun syarat lain, angka positif sebaiknya tidak lebih dari lima persen.  “Lihat kondisi epidemiologi, angka positivitasnya belum di bawah 5 persen. Indonesia beberapa hari terakhir ini pernah 33 persen, bayangkan itu tinggi banget dari 100 orang yang diperiksa 33 orang yaitu positif. Bayangkan luar biasa menakutkan,” terangnya.

Tidak hanya itu, Windhu juga menerangkan bahwa hak anak juga harus diperhatikan. Dalam konvensi hak anak, terdapat empat hak yang dimiliki anak, yakni hak untuk kelangsungan hidup.

Isinya adalah hak untuk hidup dan hak untuk sehat, hak perlindungan, hak tumbuh kembang di dalamnya ada pendidikan, dan hak berpartisipasi.  Dengan begitu dasar keputusan, sambungnya, harus sains, dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu epidemiologi atau ilmu penyakit menular.

Melihat data-data epidemiologi yang ada, jika aman, maka dapat dilakukan PTM.  Windhu juga menekankan masyarakat untuk selalu mendengarkan para ahli kesehatan masyarakat, para organisasi di bidang kesehatan, para ahli kesehatan anak dan Kementerian Kesehatan.