Sudah 2 Bulan Berlalu, Pekerja Myanmar Tetap Mogok Kerja dan Lakukan Revolusi Diam

Internasional157 views

Inionline.id – Ratusan ribu pekerja Myanmar sudah melakukan mogok kerja selama dua bulan terakhir, sambil berharap kelumpuhan ekonomi akan memaksa junta mengakhiri kudeta yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.

Minggu (4/4/2021) sejumlah karyawan bank, dokter, insinyur, petugas bea cukai, staf kereta api hingga pekerja tekstil semuanya menjadi bagian dari gerakan pembangkangan sipil. Para pekerja yang melakukan mogok kerja termasuk di antara 550 orang yang tewas dalam tindakan kekerasan militer terhadap protes anti-kudeta, sementara banyak dari mereka juga ditangkap atau bahkan hilang.

“Saya tidak punya uang lagi, saya ketakutan, tapi saya tidak punya pilihan. Kita harus menghancurkan kediktatoran,” kata Aye, seorang pegawai bank berusia 26 tahun di Yangon.

“Kami tidak berdemonstrasi di jalan, kami terlalu takut masuk daftar militer dan ditangkap,” katanya. “Revolusi kami diam.”

Perlawanan terus dilakukan meski ada seruan berulang bahkan ancaman dari militer agar orang-orang kembali bekerja.

Bank Dunia sekarang memperkirakan penurunan 10 persen PDB Myanmar pada tahun 2021, sebuah langkah mundur bagi negara yang telah mengalami pertumbuhan pesat selama transisi demokrasi yang dipimpin oleh pemerintah sipil Aung San Suu Kyi.

“Junta tidak siap untuk perlawanan seperti itu,” kata Francoise Nicolas, Direktur Asia Institut Hubungan Internasional Prancis, yang menggambarkan pemogokan itu sebagai “taruhan yang berisiko”.

Dengan sektor perbankan lumpuh, karyawan mengalami masalah dalam mendapatkan bayaran dan mesin ATM kosong. Selain itu, sektor garmen Myanmar, yang berkembang pesat sebelum kudeta dengan 500.000 karyawan, runtuh.

Perusahaan asing seperti H&M Swedia dan Benetton Italia telah mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pesanan mereka, sementara pabrik tekstil milik China yang bekerja untuk merk Barat telah dibakar. Akibatnya, ribuan pekerja perempuan tidak dibayar dan harus kembali ke desa asal mereka.

Situasi ini juga mengkhawatirkan bagi petani – harga benih dan pupuk meningkat, sementara mata uang, kyat, terdepresiasi, menyebabkan pendapatan mereka menyusut. Sementara itu, harga-harga kebutuhan melonjak.