Kurang Gerak dan Pakaian Tak Tepat Bisa Menjadi Penyebab Kanker pada Masyarakat

Kesehatan257 views

Inionline.id – Kanker merupakan salah satu penyakit yang jumlahnya semakin mengganas di abad ke-21 ini. Hal ini tidak lain disebabkan karena gaya hidup yang dimiliki masyarakat.

Gaya hidup tak sehat yang mencakup kurang berolahraga, tidak menjaga berat badan sehat dan mengonsumsi makanan tak sehat berkontribusi pada 35 persen risiko Anda terkena kanker. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, apabila Anda perokok dan masih melanggengkan kebiasaan tersebut maka peluang Anda terkena salah satu penyakit mematikan itu bertambah 30 persen.

Tubuh biasanya akan mengeyahkan sel-sel yang tumbuh tidak normal. Namun, saat kondisi di luar tubuh akibat gaya hidup tak sehat termasuk kebiasaan merokok, kurang bergerak dan konsumsi makanan mengandung bahan pembentuk kanker terlampau kuat, maka sel tak normal terus tumbuh dan menjadi benjolan atau disebut tumor.

“Sel (tidak normal) ini mempunyai kemampuan untuk tumbuh sembarangan, cepat, mengganggu sel sekitarnya. Lalu muncul ke permukaan dan disebut tumor atau kumpulan sel yang tumbuh tidak teratur. Ada tumor jinak dan ganas,” ujarnya beberapa waktu lalu dilansir dari Antara.

Aru kembali menegaskan, faktor risiko kanker sebesar 90 persen berasal dari lingkungan, sementara sisanya berasal dari gen yang rusak dengan presentase 5-10 persen. Ini artinya, sebagian besar sel kerusakan pada sel sesudah seseorang lahir alias akibat lingkungan atau gaya hidupnya.

Pada kasus kanker nasofaring misalnya, salah satu pencetusnya konsumsi makanan mengandung bahan karsinogen seperti ikan asin yang diolah tak benar sehingga mengandung zat nitrosamin. Zat ini sama seperti yang ditemukan pada sosis ini tergolong karsinogen atau bahan yang melahirkan kanker. Tak hanya pemilihan makanan, cara berpakaian khususnya bra juga menjadi perhatian.

Bra Berkawat Bisa Sebabkan Kanker

Dokter spesialis bedah konsultan bedah onkologi di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Alban Dien mengutip hasil penelitian tidak menyarankan penggunaan bra berkawat setiap saat.

“Saya membaca ada beberapa penelitian yang menyatakan kurang baik menggunakan (bra) kawat apabila kita mobilitas sehari-hari,” kata dia.

Alban yang juga berpraktik di Eka Hospital Cibubur menuturkan, bra dengan kawat bisa membuat tekanan pada tubuh dan membentuk inflamasi atau peradangan yang terus menerus (kronik). Salah satu penyebab, kanker, kata dia, adalah inflamasi yang terus menerus.

Sebagai solusi, dia menyarankan para kaum hawa mengganti bra berkawat dengan bra biasa pada malam hari atau bisa melepasnya saja. Kemudian, terkait olahraga yang tidak hanya bermanfaat menurunkan beberapa jenis kanker, tetapi juga bisa membantu menjaga berat badan, memperbaiki tekanan darah dan kesehatan mental.

Pentingnya Deteksi Dini Kanker

Di Indonesia, kanker payudara termasuk yang menduduki peringkat tertinggi dialami perempuan. Menurut Aru, pada perempuan jenis kanker ini bahkan menduduki posisi pertama diikuti serviks, usus besar, hati dan nasofaring. Data pada tahun 2020 menunjukkan, angka kasus kanker payudara mencapai 65.858 kasus per tahun.

Sementara di dunia pada tahun yang sama, dilaporkan terdapat 2.261.419 kasus dengan angka kematian mencapai 600.000 pasien per tahun. Bukan hanya faktor gaya hidup, seseorang yang punya riwayat keluarga terkena kanker payudara bisa berisiko mengalami kanker serupa di kemudian hari.

Para dokter menyarankan mereka melakukan deteksi dini mulai dari pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) usai periode menstaruasi, USG setiap 6 bulan sekali, dan mamografi 1-1,5 tahun sekali. Apabila pencegahan sudah dilakukan, tetapi kanker tak terelakan, Alban menyarankan pasien menjadikan terapi medis sebagai yang utama dan menomorduakan perawatan dengan obat herbal atau alternatif.

“Herbal tidak dilarang, terapi pertama wajib terapi medis. Kalau masuk dengan herbal atau alternatif, bila masuk stadium satu dan sudah terdeteksi kanker maka herbal dinomorduakan karena kalau masuk dengan herbal duluan maka stadium akan naik dan tidak akan kembali,” kata dia.

“Kami tidak bisa lakukan terapi lain kecuali yang bersifat paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup,” sambung Alban.