Ketum PKB Meminta Pembahasan Revisi UU Pemilu Dihentikan

Politik157 views

Inionline.id – Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi PKB Luqman Hakim mengatakan revisi UU Pemilu tidak boleh terburu-buru. Sebab Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) H Abdul Muhaimin Iskandar, kata Luqman, menyerukan kepada para kader PKB untuk menghentikan pembahasan.

“Revisi UU Pemilu tidak boleh terburu-buru, butuh partisipasi publik, situasi saat ini tidak tepat, dan Ketua Umum DPP PKB perintahkan fraksi PKB hentikan pembahasan,” kata Luqman dalam keterangan pers, Sabtu (6/2).

Situasi pandemi Covid-19 masih melanda Indonesia. Hal tersebut kata dia jadi upaya yang serius bagi upaya melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi undang-undang pemilu.

Luqman mengatakan partainya memandang bahwa revisi tersebut harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019. Pertama kata dia banyaknya penyelenggaran pemilu meninggal dunia pada 2019 akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.

Sedangkan kata Luqman batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara.

“Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia,” kata Luqman.

Kemudian dia membeberkan praktik money politic pada pemilu 2019 makin massif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan pemilu 2014 dan 2009. Hal tersebut disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif.

“Semakin kuatnya pengaruh money politic dalam pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korupsi,” kata Luqman.

Tidak hanya itu, Luqman menilai UU tersebut juga mengatur pemilu gagal mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik. Dia juga mengatakan manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Prabowo Subianto adalah hasil pemilu gagal.

“Kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu,” ungkap Luqman.

Walaupun demikian, Luqman menilai partisipasi politik perempuan mengalami kemajuan, aturan pemilu belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan. Dia juga mengatakan tidak ada keharusan dalam aturan pemilu kepada partai politik untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu pada sebagian daerah pemilihan.

“Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan,” ungkap Luqman.

Luqman juga mengklaim undang-undang pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan. Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan.

“Padahal tugas dan tanggungjawab anggota DPR, sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan, adalah menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat daerah pemilihan,” beber Luqman.

Kemudian juga dia juga mengatakan aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah.

“Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan,” kata Luqman.

Dia juga menjelaskan aturan pembentukan daerah pemilihan, tidak mewajibkan adanya keadilan representasi kursi DPR berdasarkan jumlah penduduk yang diwakili. Dia pun mencontohkan satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk.

“Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk,” ungkap Luqman.

Luqman juga menilai aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat. Sehingga menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara.

“Diperlukan reformasi aturan pembiayaan untuk peserta pemilu agar tepat manfaat dan sasaran,” ungkap Luqman.

Sementara itu, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak pemilu 2009, perlu dievaluasi. Dia pun mempertanyakan soal Apakah kemurnian suara rakyat pemegang kedaulatan negara dilaksanakan.

Kemudian dia juga menilai undang-undang pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu. Terutama kata dia soal pemungutan dan penghitungan suara.

“Jika teknologi digunakan dengan tepat, pasti akan berdampak positif pada kualitas pelaksanaan pemilu dan akan mengurangi anggaran biaya pemilu secara signifikan” beber Luqman.