Perludem Tak Setuju Jika Pilkada Digelar Serentak dengan Pilpres 2024

Politik157 views

Inionline.id – Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengkritik rencana penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 2024. Artinya, Pilkada akan sekaligus digelar bersamaan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada November 2024 nanti.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Artinya, kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai tahun 2024.

Titi tidak setuju dengan pelaksaan Pilkada yang bakal digelar bersamaan dengan Pilpres 2024. Ada berbagai aspek yang menjadi pertimbangan Titi.

“Konsep Pilkada Serentak nasional tahun 2024 ini, sesungguhnya bergeser dari pengaturan awal yang terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Di mana pemungutan suara Pilkada Serentak nasional terjadwal dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027. Dalam rancangan ini, bagi daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada tahun 2022 dan 2023, tetap diselenggarakan pemungutan suara pada tahun-tahun tersebut,” jelas Titi dalam keterangannya, Selasa (12/1).

Diketahui, provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada tahun 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan tahun 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatannya, antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua.

Salah satu dampak negatif yang cukup besar apabila Pilkada digelar pada November 2024, kata Titi, ada ancaman elektoral.

Kata Titi, pertama beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Dia menyinggung maraknya kasus meninggal petugas KPPS saat Pemilu 2019 karena bebas kerja yang sangat tinggi karena harus mengawal lima surat suara.

“Selain itu, ada pula kendala terkait bimtek, logistik, dan kesehatan akibat kompleksitas pemilihan yang dilaksanakan,” jelas Titi yang mengutip data Fisipol UGM.

Meskipun, lanjut Titi, pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya di bulan April, sementara pilkada pada November. Namun, dia menggarisbawahi, tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain.

Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, mulai dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan.

“Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Sehingga bukan tidak mungkin fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang,” jelas dia lagi.

Marak Cara Ilegal

Persoalan kedua yakni menyangkut tentang politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih. Disebabkan terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan.

“Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya, politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks,” jelas Titi lagi.

Pengalaman Pemilu 2019, kata dia, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) Pemilu Anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02 persen dari jumlah pengguna hak pilih.

Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi Pemilu Anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD.

“Bayangkan kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama,” tutur dia.

Alasan terakhir yakni adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019.

Semestinya tidak ditambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut, MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

“Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024. Guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita,” jelas Titi.

Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada tahun 2022 dan 2023. Sedangkan untuk daerah yang berpilkada tahun 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya.

Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.

“Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019 lalu. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban,” tutup Titi.