Desakan Koruptor Bansos Covid-19 Dihukum Berat & Celah Rasuah

Inionline.id – Serikat Pekerja Rakyat Indonesia (SPRI) meminta agar pihak-pihak yang melakukan korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 dihukum seberat-beratnya.

Desakan itu menurut Ketua Umum SPRI Marlo Sitompul lantaran korupsi bansos Covid-19 dianggap termasuk kejahatan luar biasa. Sebab hak rakyat miskin untuk menerima bantuan telah dirampas demi memuaskan hasrat pejabat negara.

“Hukum seberat-beratnya koruptor bansos Covid-19. Usut tuntas Korupsi Bansos dari pusat hingga desa/kampung,” tukas Marlo melalui keterangan tertulis, Senin (7/12).

Lebih lanjut, Marlo mengusulkan agar bansos sembako bisa diganti dengan bantuan tunai yang diberikan langsung ke masyarakat melalui transfer antar-bank.

Ia beralasan, hasil pemantauan Koalisi Pemantau Bansos Jakarta pada periode April, Mei dan Juni 2020 menunjukan nilai bansos sembako terlalu kecil. Selain itu barang pun cepat habis, tidak sehat dan, tidak mampu meningkatkan daya tahan tubuh.

Tim koalisi juga menemukan pelbagai praktik memecah bantuan.

“Hasil monitoring juga menunjukkan bahwa warga miskin Jakarta lebih menginginkan bantuan langsung tunai dibandingkan bantuan sembako,” tambah dia.

Pekerja memindahkan paket bantuan sosial (bansos) yang akan disalurkan di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Pemerintah menyalurkan paket bansos masing-masing sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan sebagai upaya untuk mencegah warga tidak mudik dan meningkatkan daya beli selama pandemi COVID-19 kepada warga yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Pekerja memindahkan paket bantuan sosial (bansos) yang akan disalurkan di Gudang Food Station Cipinang, Jakarta, Rabu (22/4/2020). (Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Di sisi lain, Marlo meminta pemerintah untuk membuka dan mengumumkan alokasi pembelanjaan anggaran Bansos Covid-19 serta melibatkan publik dalam penetapan data penerima manfaat.

Selama ini, ia menilai, alokasi pembelanjaan anggaran khusus penanganan Covid-19 tidak terbuka. Sehingga publik pun kesulitan mengawasi prosesnya dari hulu ke hilir.

“Meminta pemerintah merancang ulang skema perlindungan sosial nasional yang lebih responsif, adil dan bermanfaat ketahanan kesehatan dan ekonomi keluarga miskin,” kata dia.

Akurasi Data Jadi Persoalan Utama Bansos

Soal data ini juga disinggung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Mariyati Kuding mengungkapkan akurasi data sebagai persoalan utama penyelenggaraan bansos hingga saat ini.

Karena itu petugas komisi antirasuah memastikan bakal terus mengawal pelaksanaan dan distribusi bansos, baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

“Persoalan utama itu adalah akurasi data penerima bantuan sosial, baik itu terkait kualitas data penerima bantuan, transparansi data, maupun pemutakhiran data,” kata Ipi dalam keterangan tertulis, Senin (7/12).

Bantuan sosial alias bansos hingga kini diketahui sebagai salah satu jaring pengaman sosial dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19.

Ipi lantas mengungkapkan, rendahnya kualitas dan transparansi data–berdasarkan keluhan yang masuk ke aplikasi JAGA Bansos–menjadi akar masalah penyaluran bansos. Di antaranya, lanjut dia, penyaluran yang tidak tepat sasaran, tumpang tindih hingga, data tidak transparan.

Ia membeberkan, data per 9 November 2020 menunjukkan dari total 1.650 keluhan, 730 keluhan atau paling banyak pengaduan masyarakat adalah merasa tidak menerima bantuan meski sudah didata.

“Permasalahan tersebut berpangkal dari masalah pendataan, salah satunya DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang tidak padan data NIK dan tidak terbaharui sesuai data kependudukan, serta minimnya informasi tentang penerima bantuan,” terang Ipi.

Lebih lanjut, ia menyatakan kini KPK tengah mengkaji pengelolaan data di Kementerian Sosial (Kemensos). Menurut Ipi, KPK menemukan perbedaan data penerima bantuan di dua Dirjen Kemensos.

Temuan tersebut memperlihatkan kuaalitas data kementerian masih problematis. KPK pun, kata Ipi mendorong Kemensos untuk segera menyelaraskan perbedaan data di internal kementerian.

“Selain itu, integrasi data Kemensos dengan data daerah, data hasil pendataan Kementerian Desa PDTT, data penerima bantuan iuran pada BPJS Kesehatan, masih lemah,” sambung Ipi.

Ia pun membeberkan, selain mengenai pendataan, potensi kerawanan lain dalam penyelenggaraan bansos terjadi dalam belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan.

“Dalam pengadaan barang, KPK juga memitigasi potensi timbulnya gratifikasi atau penyuapan dalam pemilihan penyedia/vendor tertentu untuk penyaluran bansos, benturan kepentingan dari para pelaksana, hingga pemerasan dan penggelapan bantuan,” ucap Ipi.

Menteri Sosial Juliari P Batubara (kiri) meninggalkan ruang pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (6/12/2020). Juliari P Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

Baru-baru ini, penyidik KPK menetapkan lima tersangka terkait dugaan korupsi program bansos penanganan Covid-19. Salah satu di antaranya adalah Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.

Adapun tersangka lain yakni pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta Ardian I M dan, Harry Sidabuke selaku pihak swasta.

Dalam perkara ini, Juliari diduga menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek bansos. Keduanya lantas melakukan penunjukkan langsung rekanan yang dilibatkan dalam proyek bansos.

KPK menduga Juliari mendapatkan fee Rp10 ribu dari nilai Rp300 ribu per paket bansos. Sehingga uang yang didapat dari program ini diperkirakan mencapai Rp17 miliar.

Sebelumnya pada Juli 2020 lalu, Ketua KPK Firli Bahuri sempat menyinggung soal wacana tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran penanganan pandemi Covid-19.

Saat itu ia mengatakan telah memperingatkan bahwa korupsi pada masa bencana atau pandemi dapat diancam dengan hukuman mati.

“Ini tidak main-main. Ini saya minta betul nanti kalau ada yang tertangkap, saya minta diancam hukuman mati. Bahkan dieksekusi hukuman mati,” kata Firli, di Gedung Transmedia, Jakarta, Rabu (29/7) lalu.