Wakil Ketua MPR: Tidak Boleh Memanfaatkan Pandemi untuk Sahkan UU yang Rugikan Rakyat

Politik157 views

Inionline.id – Pemerintah dan Badan Legislasi Daerah (Baleg) DPR yang tergabung dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sepakat membawa penyelesaian pembahasan RUU ini ke rapat paripurna. Ini disetujui dalam rapat pengambilan keputusan yang digelar Sabtu (3/10) malam. Dua fraksi yakni Demokrat dan PKS tidak setuju.

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyarankan pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat soal RUU Cipta Kerja. Alasannya, keterlibatan rakyat dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang akan diterbitkan diperlukan.

“Pemerintah dan DPR RI tidak boleh memanfaatkan situasi pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak diinginkan karena merugikan rakyat,” kata Syarief Hasan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Minggu (4/10).

Banyaknya penolakan dan demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan RUU Cipta Kerja harus lebih mewadahi aspirasi rakyat. Pemerintah seharusnya hadir untuk memberikan perlindungan terbaik bagi rakyat.

“Bukan semakin mempersulit rakyat dan keberpihakan kepada pengusaha yang melanggar hukum, dan yang merusak lingkungan, bahkan keberpihakan kepada tenaga kerja asing lewat RUU Cipta Kerja yang dibahas di tengah pandemi Covid-19,” kata dia.

Apalagi, Bank Dunia dalam laporan berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery pada Rabu 29 Juli 2020 juga menyoroti tiga poin RUU Cipta Kerja. Tiga poin itu adalah klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan.

“Revisi terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law memiliki potensi mengurangi perlindungan yang diberikan terhadap pekerja,” kata politikus Partai Demokrat ini mengutip salah satu isi laporan Bank Dunia.

Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, dalam rapat panitia kerja RUU Cipta Kerja di Jakarta, Sabtu (26/9), mengatakan, penggunaan tenaga kerja asing akan tetap sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan namun ada penambahan terkait klaster keimigrasian dalam RUU Ciptaker.

Aturan itu, menurut dia, dibuat agar calon investor dan orang yang akan menjadi pengurus perusahaan dalam posisinya sebagai komisaris maupun direksi, wajib mengikuti aturan ketentuan yang telah diputuskan dalam UU Keimigrasian.

Namun, Syarief Hasan menilai aturan yang terdapat dalam RUU Omnibus Law itu akan membuat penggunaan TKA semakin besar.

Selain itu, menurut anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, RUU Cipta Kerja akan semakin mempermudah perusahaan melakukan PHK, pasalnya sanksi terhadap perusahaan yang melanggar aturan RUU Omnibus Law itu hanya bersifat hukum administratif.

Namun, pada rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja pada Sabtu (26/9), pemerintah, DPR, dan DPD sepakat agar sanksi pidana dalam RUU Cipta Kerja tetap seperti ketentuan UU yang telah ada (UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan).

Dalam UU Ketenagakerjaan, sanksi pidana diatur dalam pasal 183 hingga pasal 189, sementara Daftar Inventarisasi Masalah terkait perubahan ketentuan tersebut disepakati agar dihapuskan semua dari RUU Cipta Kerja.