PKS Meminta Jokowi Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja

Politik057 views

Inionline.id – Politisi PKS sekaligus Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) minta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebab, gelombang penolakan masyarakat yang luas terhadap UU yang dianggap bermasalah secara substansi.

“Bila Presiden Jokowi mempertimbangkan serius masalah ini, apalagi darurat kesehatan akibat pandemi korona, juga belum nampak kapan akan melandai. Sangat bijak bila Presiden Jokowi mempergunakan kewenangan konstitusionalnya untuk mengakhiri polemik dan menyelamatkan bangsa dan negara dari kegaduhan, dengan segera menerbitkan Perppu mencabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja, agar semuanya dikembalikan ke UU existing saja,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (7/10).

Namun, jika Presiden Jokowi tidak mengambil langkah tersebut, anggota DPR Fraksi PKS ini mendukung masyarakat dari beragam latar belakang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

“Apabila langkah itu tidak diambil Presiden Jokowi, HNW mendukung bila warga Indonesia baik dari Serikat Pekerja/Organisasi Buruh, organisasi Profesi, LSM, Ormas maupun individu yang dirugikan oleh diundangkannya UU Cipta Kerja itu, untuk mempergunakan hak konstitusionalnya dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dan hendaknya MK betul-betul melaksanakan kewajibannya dengan adil dan benar, demi terselamatkannya NKRI sebagai negara Pancasila dan negara Hukum,” ujar Hidayat.

Hidayat menuturkan, banyak substansi yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Terutama isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama UU Cipta Kerja. Masalah investasi bukan karena persoalan regulasi.

“Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh Pemerintah,” ucapnya.

Tak Beri Kepastian Hukum

Hidayat menilai, UU Cipta Kerja juga cenderung condong kepada investasi asing dan merugikan kelompok pekerja dalam negeri. Selain itu, UU Cipta Kerja juga tak memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari prinsip negara hukum yang dijamin UUD 1945. Menurutnya, UU Cipta Kerja tidak memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan peraturan.

“Tetapi disayangkan sekali, RUU tersebut tidak sesuai dengan tujuannya, karena RUU ini justru mengamanatkan banyak ketentuannya untuk diatur dalam peraturan pemerintah (PP), sehingga membuat peraturan tidak menjadi sederhana, dan penuh spekulasi politik, kata putusnya tergantung kepada pemerintah pemilik kekuasaan politik. Suatu hal yang tak sesuai dengan prinsip Negara Hukum di Negara demokratis seperti Indonesia,” jelasnya.

UU Cipta Kerja ini menuai penolakan yang masif. Tidak hanya buruh dan pekerja, tetapi berbagai organisasi seperti Nahdlatul Ulama, MUI, akademisi dan lain-lain. Tak menghiraukan penolakan masyarakat, Omnibus Law digas pengesahannya dalam rapat paripurna 5 Oktober lalu dengan komposisi tujuh fraksi menyetujui dan dua fraksi PKS dan Demokrat menolak.

Selain itu, Hidayat mengungkap sampai hari ini belum ada naskah UU Cipta Kerja resmi yang disampaikan ke fraksi dan ke publik. Hal itu menimbulkan kekhawatiran baru draf final berbeda dengan hasil yang disepakati di panitia kerja.

“Karena tidak ada akses bagi Anggota DPR maupun publik untuk membaca draft RUU itu secara utuh,” kata dia.