Pandangan Susi Pudjiastuti Soal Pentingnya Pendidikan Formal

Pendidikan157 views

Inionline.id – Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Kerja, Susi Pudjiastuti terkenal dengan jargon khas ala Susi, salah satunya imbauan untuk makan ikan melalui kalimat ‘jika tidak makan ikan, tenggelamkan!”. Meski kini ia tak lagi menjabat menjadi menteri, namun banyak masyarakat yang masih mengingatnya.

“Semua orang masih ingat. Di Twitter Saya masih banyak yang lapor makan ikan. Bangsa Indonesia itu otaknya harus dikasih makan ikan, supaya proteinnya itu membantu IQ tinggi. Kalau kita cuma makan singkong, beras, karbo-karbo gimana mau bersaing dengan negara tetangga kita.Pemerintah harus memobilisasi masyarakatnya ke laut, cari ikan, makan ikan, jual ikan, karena karbo enggak bikin IQ naik” kata Susi saat menjadi narasumber di OSC Talks, Jumat Sore, 9 Oktober 2020.

Susi mengakui dirinya tidak berasal dari latar belakang pendidikan formal. “Saya hanya punya ijazah SMA, itu pun Paket C,” kata Susi.

Namun meyakini, bahwa pendidikan formal sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa. Bagi Susi, pendidikan formal penting untuk meraih cita-cita. Namun ia juga berpesan, pendidikan yang ia maksud bukanlah sekadar pendidikan yang hanya bermodal ijazah.

“Saya tidak datang dari pendidikan formal. Namun rata-rata orang Indonesia untuk pendidikan masih penting. Saya mau pendidikan yang benar, bukan asal dapat diploma dan ijazah, tapi enggak dapat point of educated,” tegasnya.

Menurutnya, semakin tinggi dan semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan formal, harusnya juga diikuti dengan kepribadian yang terdidik.

“Kalau orang punya ijazah banyak harusnya you also behave dan value sebagai orang yang educated. itu hanya bisa kalau mentalitas, integritas terhadap ilmu dan kehidupan itu baik. Cari ilmu penting, cari ijazah penting, karena kalau lamar pekerjaan harus pakai ijazah,” ujarnya.

Untuk itu ia berpesan kepada generasi muda, utamanya mahasiswa agar berdedikasi penuh terhadap ilmu yang ditimbanya selama di perguruan tinggi. “Mahasiswa harus berdedikasi penuh kepada ilmunya, kepada apa yang menjadi targetnya. To get a beter job? berarti harus better work. Kalau ijazah 10 tapi malas ya sama saja,” tandasnya.

Namun diakuinya, menjadi mahasiswa di era disrupsi teknologi seperti saat ini memang tidak mudah. Sebab selain menawarkan banyak kemudahan, teknologi juga menawarkan banyak akses menuju sumber hiburan, seperti media sosial.

Pemanfaatan teknologi yang tidak berimbang inilah yang menurut Susi menjadi tantangan generasi muda ke depan. Agar teknologi dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal positif, bukan malah membuat mahasiswa tersita waktunya untuk sekadar bermain media sosial.

“Mahasiswa harus mulai menghargai waktu, jangan sia-siakan waktu untuk sesuatu yang tidak penting,” tegas Susi.

Dalam kesempatan yang sama, Susi juga berharap pejabat di pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk mengatur pendidikan agar menganjurkan kepada masyarakat sebuah gerakan menuju mentalitas yang baik. “Dulu ada revolusi mentalnya Jokowi. Revolusi mental kita belum selesai and still go,” ujarnya.

Ia mengatakan, bahwa tidak ada satu pun mahasiswa yang ingin menjadi mahasiswa seumur hidupnya. Sehingga ilmu yang didapatnya tersebut, seharusnya dapat diimplementasikan dengan baik agar berguna untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya.

“Kalau mahasiswa sambil bekerja, it’s very good. Ujungnya kan Anda tidak mau jadi mahasiswa seumur hidup kan? Stupid kalau mau study entire life, mau koleksi ijazah? Enggak akan membuat hidup lebih baik. Belajar itu harus ada implementasinya,” tegas Susi.