Ini 10 Beda Naskah UU Cipta Kerja Setelah Bolak-balik Berubah

Headline, Nasional057 views

Inionline.id – Berikut adalah perbedaan-perbedaan dalam naskah final UU Cipta Kerja, setelah lima kali mengalami perubahan. Simak selengkapnya.

Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR di Senayan, Jakarta, pada 5 Oktober pekan lalu.

Bukan berarti ketok palu Pimpinan Sidang pada 5 Okotber membuat naskah omnibus law ini berhenti berubah. Dari naskah semula yang diunggah di situs resmi DPR, naskah itu kemudian masih berubah saat pengesahan lewat rapat paripurna DPR, kemudian berubah lagi hingga total menjadi lima kali.

Berikut adalah daftarnya:

Naskah RUU Cipta Kerja

1. Versi 1.028 halaman (versi pertama yang diunggah situs resmi DPR, judul berkas: BALEG-RJ-20200605-100224-2372)
2. Versi 905 halaman (judul berkas: 5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja – Paripurna)
3. Versi 1.052 halaman (judul berkas: 9 OKT @)@) RUU CIPTA KERJA bersih Pukul 8.32)
4. Versi 1.035 halaman (judul berkas: RUU CIPTA KERJA – KIRIM KE PRESIDEN)
5. Versi 812 halaman (judul berkas: RUU CIPTA KERJA – PENJELASAN)

Versi 812 halaman adalah versi yang paling mutakhir dan dikonfirmasi oleh DPR sebagai naskah final. Berikut adalah perbedaan-perbedaan pasal yang termuat dalam naskah final itu dengan naskah versi sebelumnya.

1. Bab VIA: Kebijakan Fiskal Nasional

Dalam naskah versi 812 halaman, ada satu bab (bukan hanya pasal) yang muncul lagi setelah sempat hilang. Bab itu adalah Bab VIA: Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.

Bab VIA ini tidak ada dalam draf UU Cipta Kerja versi 1.035 halaman yang beredar persis sehari sebelumnya. Bab VIA ini ada pada naskah versi 1.052 halaman tertanggal 9 Oktober dan 905 halaman tertanggal 5 Oktober 2020.

Bab VIA memuat 21 pasal dan menghapus 1 pasal. Letaknya dimulai dari halaman 424 sampai 435 dalam berkas RUU CIPTA KERJA – PENJELASAN berisi 812 halaman.

2. Izin usaha berisiko tinggi

Aturan ini ada di halaman 7, versi naskah UU Cipta Kerja 812 halaman. Ada Pasal yang berubah bila dibanding versi naskah 1.035 halaman sebelumnya.

Naskah ini termuat dalam ‘Paragraf 4: Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi’ pada ‘Bagian Kedua: Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko’.

Pasal yang berubah adalah Pasal 10. Perubahannya, pertama, terletak pada pemberi izin usaha berisiko tinggi, semula pemberi izin adalah Pemerintah Pusat, dan kini di naskah final yang memberi izin adalah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Kedua, perubahan terletak pada penerbit sertifikat standar usaha dan produk. Semula, pihak yang menerbitkan sertifikat adalah Pemerintah Pusat. Kini di naskah final, pihak yang menerbitkan sertifikat adalah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Simak komparasi berikut ini:

UU Cipta Kerja
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi

Versi 812 halaman:

Pasal 10
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.

Versi 1.035 halaman

Pasal 10
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.

3. Ayat pesangon buruh

Pasal soal pesangon buruh ada di Pasal 156, dalam Bagian Kedua: Ketenagakerjaan. Pada draf versi 812 halaman, Pasal 156 ada pada halaman ke-355.

Jadi, perbedaan Pasal 156 ayat (1) draf versi 812 halaman dengan versi draf 1.035 halaman ada pada kata rujukan ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154A’. Simak perbedannya pada komparasi di bawah ini.

UU Cipta Kerja
Bagian Kedua: Ketenagakerjaan

Versi 812 halaman:

Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Versi 1.035 halaman:

Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154A, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Selain tiga poin perubahan di atas, sebenarnya ada pula perubahan-perubahan non-substansial seperti perubahan penomoran dengan huruf karena penomoran semula punya urutan yang salah. Ada pula perubahan soal ‘dan’ menjadi ‘dan/atau’ pada banyak pasal. Untuk perubahan yang disebutkan terakhir, tidak jelas betul apakah itu perubahan substansial atau bukan.

Sekarang, silakan simak perubahan-perubahan yang terjadi sebelum munculnya naskah UU Cipta Kerja versei 812 halaman.

4. Ayat denda untuk pengusaha-buruh yang lalai

Pasal yang mengatur soal denda untuk pengusaha dan buruh termuat dalam Pasal 88A, dalam Bagian Kedua: Ketenagakerjaan. Pasal 88A ada pada halaman 349 dan 350 dalam draf versi 812 halaman.

Yang baru bukan pasal 88A-nya, tapi tiga ayat dalam pasal 88A, yakni ayat (6), (7), dan (8).

Tambahan ayat itu sudah ada sejak draf UU Cipta Kerja berubah menjadi 1.035 halaman. Tiga ayat itu tidak ada di naskah veresi sebelumnya.

Begini bentuk akhir tiga ayat yang muncul sejak naskah UU Cipta Kerja versi 1.035 halaman itu, dipertahankan pada versi 812 termutakhir:

Pasal 88A
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.

5. Ayat persetujuan lingkungan

Dari versi naskah versi 905 halaman ke naskah versi 1.052 halaman, ada perubahan pada Pasal 24 ayat (5) dalam ‘Paragraf 3: Persetujuan Lingkungan’.

Baik naskah versi 905 halaman maupun versi 1.052 halaman sama-sama muncul pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Pasal 24 ayat (5) versi naskah 1.052 halaman menyatakan keputusan kelayakan lingkungan hidup digunakan untuk persyaratan penerbitan perizinan berusaha, atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Pada versi draf sebelumnya, persetujuan ‘pemerintah pusat atau pemerintah daerah’ tidak disebut. Bunyi Pasal 24 ayat (5) ini tetap dipertahankan sampai versi terakhir, yakni naskah versi 812 halaman. Begini bunyi ayatnya:

UU Cipta Kerja
Paragraf 3: Persetujuan Lingkungan

Pasal 24
(5) Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

6. Ayat istirahat panjang buruh

Ada ayat yang muncul sejak naskah versi 1.035 halaman, yakni ayat (6) pada Pasal 79 pada ‘Bagian Kedua: Ketenagakerjaan’. Ayat itu tetap ada hingga naskah versi 812 muncul ke publik, yakni naskah yang disebut DPR sebagai versei final.

Pasal 79 ayat (6) mengatur soal istirahat panjang buruh. Perusahaan yang diperbolehkan memberikan istirahat panjang bagi buruh-buruhnya. Ketentuan bakal diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Begini bunyi ayat (6) yang baru muncul pada naskah versi 1.035 halaman itu:

Pasal 79
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Hilangnya Pesangon PHK paling banyak

Dari naskah versi 905 halaman ke versi 1.052 halaman, Ada perubahan soal bunyi ketentuan soal pesangon bagi buruh yang kena PHK. Perubahan ini dipertahankan hingga versi terbaru, yakni veresi 812 halaman.

Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 156 ayat (2). Perubahan dari versi 905 halaman ke versi 1.052 halaman ada pada kata kata ‘paling banyak’ yang hilang sejak versi 1.052 halaman. Begini bunyinya:

Versi 905 halaman

Pasal 156 ayat (2)
2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut.

Versi 1.052 halaman-versi 1.035 halaman-versi 812 halaman:

Pasal 156 ayat (2)
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut.

8. Soal Informasi Geospasial Dasar (IGD)

Dalam omnibus UU Cipta Kerja, ada pasal-pasal yang mengatur soal Infomrasi Geospasial Dasar (IGD). Pasal yang terdeteksi mengalami perubahan adalah Pasal 22A ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3).

Perubahan sudah terjadi sejak naskah versi 905 halaman menjadi naskah versi 1.052 halaman. Perubahan terletak pada kata ‘dengan’ Peraturan Presiden atau ‘dengan’ Peraturan Pemerintah, berubah menjadi ‘dalam’ Peraturan Presiden atau ‘dalam’ Peraturan Pemerintah.

Perubahan sejak versi 1.052 halaman ini dipertahankan hingga bersi final 812 halaman. Simak komparasi ini:

Versi 905 halaman:

Pasal 22A
(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 28
(1) Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
a. dilakukan di daerah terlarang;
b. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
c. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Versi 1.052 halaman-versi 1.035 halaman-versi 812 halaman:

Pasal 22A
(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 28
(1) Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
a. dilakukan di daerah terlarang;
b. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
c. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

9. Pengertian Amdal

Pengertian Amdal, atau Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, juga mengalami perubahan sejak draf versi 1.052 halaman, atau tertanggal 9 Oktober. Bila berpatokan pada tanggal di judul berkas digital, maka perubahan pengertian Amdal terjadi empat hari usai 5 Oktober, tanggal pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU di DPR.

Perbedaan pengertian mengenai Amdal dari RUU Cipta kerja versi 905 halaman dan versi setelahnya terletak pada ide ‘persetujuan pemerintah’. Semula, pasal ini hanya memuat ‘persetujuan pemerintah’, namun kemudian berubah menadi ‘persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah’. Berikut komparasinya:

Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan

Versi 905 Halaman

Pasal 1
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah.

Versi 1.052 halaman-versi 1.035 halaman-versi 812 halaman:

Pasal 1
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

10. Ayat syarat buang limbah

Syarat buang limbah termuat dalam Pasal 20 ayat (3), ‘Paragraf 3: Persetujuan Lingkungan’. Ada perubahan yang telah dialami oleh Pasal 20 ayat (3) ini sejak naskah versi 1.052 halaman. Usai perubahan itu, bunyi Pasal 20 ayat (3) dipertahankan sampai naskah versi final 812 halaman.

Lagi-lagi, perubahan terletak pada penggantian kata ‘pemerintah’ menjadi ‘Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah’. Berikut komparasinya:

Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan

Versi 905 halaman:

Pasal 20
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat persetujuan dari pemerintah.

Versi 1.052 halaman-versi 1.035 halaman-versi 812 halaman:

Pasal 20
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.